HIHO 9

59 10 3
                                    

Pemuda ini menghabiskan waktu malam menjelang subuhnya dengan berkeliaran bebas di sebuah pusat hiburan malam. Sebotol minuman yang tak seharusnya dia tegak kini menjadi kebutuhan untuknya.

Semua nya terasa berat untuknya, beban kerja, beban kuliah dan beban keluarga tentunya. Dia muak jika harus kembali kerumah yang penuh dengan perbandingan hidup. Kenapa demikian? Karena sang kakak begitu membanggakan orang lain dibanding kan dirinya.

"Gue benci, tapi gue suka dia! Gue muak tapi gue butuh dia!" Racau nya yang sudah sangat hancur. Pemuda itu menegak kembali minuman beralkohol itu.

"Stop Rio! Cukup ya, lo mabok ga karuan begini!" Bentak seseorang. Rio malah terkekeh sinis, dia malah menendang sudut meja hingga lawan bicaranya itu tersenggol.

"Bangsat! Sakit tau gak!" Emosi nya. Rio tak peduli, dia dalam keadaan setengah sadar, tentu tenaga nya masih ada.

"Ngapain lo disini? Bukannya lo di Pelangiran?" Tanya Rio kemudian. Lelaki yang menjadi lawan bersua nya itu malah mendengus malas.

"Gue dapet tugas negara buat jemput elo."

"Maksud lo apa ha?"

Guan berdecak, "Buruan pulang! Nyusahin banget lo!" Rio memberontak saat Guan, rekan kerja nya dulu menarik dirinya.

"Gue memang nyusahin, gue memang gak ada hebat nya! Dia terus yang dibanggain sama keluarga gue, memang nya dia siapa hah?" Rio pun tak Terima.

Guan menatap iba pada temannya itu. Rio yang selalu merasakan perbandingan hidup dan pencapaian oleh keluarga nya sendiri, memilih menjauh dan menepikan diri dengan mencoba memulai ulang pencapaiannya. Miris, itulah pikir Guan.

"Pulang ya.. Biar lo bisa istirahat." Bujuk Guan pelan. Rio hanya diam dan menatap kosong kearah luar jendela.

"Sejak awal kuliah gue selalu dibanding-bandingkan dengan dia. Gue selalu tahan, dia memang gak pernah menunjukkan kalau dia hebat, tapi tindakan biasanya itu yang peduli ke keluarga gue, setiap apa yang dia peroleh menjadi bahan untuk menjadi pembanding gue. Gue benci dibanding-bandingkan." Lirih Rio. Dia mengenal nafas panjang.

"Sampai suatu ketika, gue ketemu lagi dengan dia. Dia juga sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Tapi kemudian, saat gue balik ke rumah. Keluarga gue malah membandingkan lagi. Gue yang malas kuliah lah, gue yang gak tamat-tamat lah, gue yang ini lah itu lah. Hah, apaan sih!!" Marah Rio dengan gejolak emosi yang sudah membuncah. Dia menggeser semua gelas dan botol yang ada di hadapannya hingga pecah berserakan di lantai.

Guan hanya bisa diam, mendalami kembali isi hati temannya itu. Memang berat, dia pun tak habis pikir. Padahal Rio selalu berusaha menjadi yang keluarga nya inginkan.

"Ditambah lagi, waktu gue pacaran dengan Amora, kakak gak pernah setuju. Dia malah bilang gue bodoh karena mau aja jadi ATM berjalannya Amora---,"

"Itu sih memang elo nya yang bego." Kata Guan menyahut dalam hati.

"Padahal amora cewek gue. Ya wajar gue beliin dia apa aja."

"Tapi gak morotin elo juga kali, Yo! Apa yang Kak sesil bilang itu bener. Lo nya aja yang ngeyel." Rio menatap tajam dirinya karena Guan mulai membela sang kakak.

"Sorry to say ya! Kali ini gue setuju dengan Kak Sesil." Lanjut Guan santai. Rio mendengus malas.

"Rio, udahlah. Ayo pulang. Lagian kan lo niatnya mau lanjutin kuliah, skripsi lo tinggal dikit lagi loh. Tinggal bimbingan akhir dan ujian." Jelas Guan mengingat kan.

"Gue gak ada semangat untuk itu." Imbuh Rio.

"Gak usah inget lagi soal perbandingan hidup antara lo dan Ify. Cukup inget nyokap lo aja. Inget nyokap lo yang berharap banyak sama lo untuk hal kuliah ini, Rio." Kata Guan lagi. Berharap Rio mau sedikit saja melunak dan berubah pikiran.

"Gue capek, Guan. Gue capek kalau harus--," Lirih Rio tak kuasa menahan kesedihannya. Dia merasakan terpuruk yang sangat luar biasa.

"C'mon man!! Lo cowok gentle yang gue kenal, harus nya lo bisa menghadapi ini semua. Lo bisa Rio!" Kata Guan memberikan Semangat.

Rio menatap Guan dengan penuh kesungguhan, melihat temannya itu bersungguh-sungguh akan membantunya, dia pun perlahan menorehkam senyum tipis.

"Ayo pulang, gue anter lo!" Akhirnya Rio menuruti ucapan Guan untuk segera pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 3 subuh.

***

Beberapa bulan sebelumnya...

Ify mengantarkan Rio ke pelabuhan karena dinas lelaki itu telah usai. Mereka saling berpamitan dengan bahasa tubuh masing-masing. Rio dengan pelukan hangat nya sedangkan ify dengan senyuman malu-malu nya. Mereka tampak tak rela, sampai waktu ketika Rio pun berkata, "Aku pulang ya. Nanti kalau udah sampai dirumah, aku kabari."

Ify mengangguk patuh, "Hati-hati dijalan, Rio. Inget loh, jangan kangen aku." Celutuk ify bergurau.

"Tenang, aku bisa telfon kamu sewaktu waktu aku kangen." Jawab Rio tak mau kalah. Mereka pun tertawa bersama, tawa terakhir yang menutup pertemuan.

Hingga sampai dua hari kemudian, Ify tak sengaja melihat instastory milik Amora. Iya, ify memang berteman lewat sosial media tapi dia tidak pernah bertegur sapa dengan gadis bersuku Bugis itu. Hanya sekedar viewers, itulah kira kira.

"Ternyata mereka balikan." Kata ify pelan. Dia tersenyum perih, merasa bahwa kebersamaan nya dengan Rio hanya semu. Tak ada celah untuknya sama sekali.

"Gue sih yang salah, terlalu berharap lebih hanya karena dia udah putus. Tapi nyatanya, gak bisa sama sekali." Lanjutnya sedih
Ify menatap pantulan dirinya di cermin. Dia menghela nafas panjang, mencoba untuk meredam rasa sakit hati akibat dirinya sendiri.

Tak hanya sampai disitu, dia juga melihat bahwa Rio merepost instastory yang Amora sematkan untuk lelaki itu.

Semakin menjadilah isak tangis gadis melayu itu.

***

Ify memantapkan dirinya untuk berangkat ke pabrik. Berangkat bersama dengan sang ayah yang juga bekerja disana. Ia berharap jika posisi kosong yang ia lamar itu menjadi rejekinya.

"Yakin kan?" Tanya ayah nya.

"Ify yakin, Pa. Papa do'ain ya." Om Arman tersenyum simpul, ia tau sang anak sangat menginginkan posisi ini.

"Masuk gih! Nanti kalau udah selesai, telfon papa ya! Bismillah." Ujar nya. Ify mengangguk patuh dan memasuki ruangan HRD.

Dia menghela nafas panjang dan mengucapkan salam dengan sopan.

"Silahkan duduk, Saudara Alifya Margaretha ya?" Ify mengangguk benar.

"Kita mulai interview nya sekarang saja, ya!"

Lagi, ify hanya mengangguk patuh. Dia sudah pernah di situasi seperti ini dulu. Dan untuk mengulang kembali, mungkin butuh usaha sedikit lagi.











******










Hai,
Terimakasih sudah pada nunggu dan nunggu cerita ini. Ga nyangka hiks.

Doakan ide nya lancar ya, karena kegiatan yang sekarang udah gak seperti dulu lagi :(
Semoga semuanya selalu sehat dan bahagia :)))

#SalamAnakRantau

HIGH HOPESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang