Berkali kali Ify menghela nafas sabar. Ia tau dirinya berlebihan soal perasaan, tapi hei! Susah melupakan yang menyakitkan. Dan itu yang ia rasakan. Meletakkan perasaan yang tak pernah terbalas adalah hal yang susah. Ia berani taruhan jika setelah ini ia akan kecewa dan trauma dengan laki laki. Hah, rumit.
Setiap hari ia berjumpa dengan Rio. Melatih indra perasanya untuk tidak bergejolak meskipun lelaki itu diam saja. Rio dengan mode cuek dan santai nya sedangkan dirinya mode pura pura kuat tapi dalam hati ingin sekali memeluk lelaki jangkung itu. Gengsi mamenn!!
"Oke, rapat hari ini cukup sekian. Silahkan dilanjutkan pekerjaan masing-masing!" Kata manager kantor tersebut.
Ify yang berada disamping Guan ditahan oleh lelaki itu, sembari menunjukkan sebuah e-invitation seseorang.
"Apaan?" Tanya ify tak paham
"Lo liat dengan seksama." Kembali ify melihat undangan tersebut lamat lamat. Seketika senyumnya getir tak terduga.
"Jadi dia mau nikah? Sama pilihannya sendiri?" Guan menatap bola mata yang sudah berkaca-kaca itu. Dia merasakan kehampaan seorang gadis yang entahlah, mungkin sudah sejak lama menginginkan lelaki yang itu.
Mereka hanya tinggal berdua di ruangan rapat, Rio tidak masuk hari ini karena suatu hal. Dan ternyata dia sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Amora.
Ya, undangan yang diperlihatkan oleh Guan adalah undangan pernikahan Rio dan Amora.
Guan memeluk Ify dengan erat. Menyalurkan sebuah kasih sayang sebagai seorang teman.
"Gue kenapa kok bego banget ya? Padahal kan gue gak pernah dilirik sama dia. Dia juga nganggep gue sekedar teman ga lebih. Gue nya aja yang over broken heart." Kata ify sambil tertawa aneh. Dia melepaskan pelukan yang Guan tautkan.
Menatap lelaki itu dengan senyum sok tegar yang ia miliki, "Thanks, udah bantu gue buat sadar ya, Guan. Semoga setelah ini gue bisa move on deh." Harapnya. Guan terkekeh pelan dan menepuk pundaknya dengan semangat.
"Pasti lah! Lo pasti bisa move on kok. Gue yakin itu!" Ify mengangguk setuju dan keluar dari ruangan rapat duluan. Ia butuh ke toilet.
Guan memperhatikan punggung kecil yang menyimpan sejuta rasa pedih itu. Dia juga menyayangkan sikap Rio yang plin plan terhadap perasaannya.
***
Beberapa bulan yang lalu,
Rio keluar dari ruangan HRD berpapasan dengan Guan yang berada di dekat ujung dapur. Mereka saling menyapa.
"Lo abis ngapain?" Tanya Guan.
"Gue ngajuin izin 2 minggu buat ngurus nikahan." Dahi Guan berkerut tiga mendengar jawaban temannya itu.
"Nikah? Sama siapa?"
"Sama Amora. Gue putuskan untuk tetap sama dia. Biar gimanapun gue juga masih sayang sama dia, Gu." Guan tak habis pikir dengan jalan pikirannya itu.
"Lo yang selama ini merengek kesel sama sikap dia, ngeluh sama drama hidup itu cewek sekarang milih nikah sama dia? Di pelet lo?"
"Ck, bukan gitu--"
"Trus Ify gimana? Lo tau kan kalau dia juga sama lo, cuma gengsinya aja yang tinggi ga mau mulai duluan." Rio mengangguk paham.
"Tapi gue yakin Ify bisa cari yang lain, yang lebih baik dari gue, Gu. Gue juga banyak salah sama Ify. Gue selalu nyalahin dia di setiap kegagalan yang gue dapat. Padahal dia ga salah apa-apa." Jelas Rio tertunduk lesu. Guan menghela nafas panjang, masih belum bisa menerima.
"Gila sih ya!" Umpat nya kesal lalu pergi dari sana. Mau tak mau Rio juga kembali ke ruangannya.
Rio mentap Ify yang serius dengan pekerjaan. Ada rasa hangat yang ia rasakan ketika berada di samping gadis itu meskipun kadang dia berubah kaku dan terkadang sedikit ceria. Tapi kedepannya ia tak bisa lagi begitu.
"Fy, udah mau makan siang. Makan bareng gak?" Ajak nya.
"Gak, aku pulang kayak biasa." Jawab Ify sembari mengeluarkan semua pekerjaan nya. Lalu ia mengambil tas dan meninggalkan Rio.
Rio tersenyum pahit. Sangat merasa bersalah sekali.
****
Ify terpekur menatap layar laptopnya. Pintu ruangan terbuka menampakkan Guan yang menatapnya dengan senyuman kecil. Ify membalas senyum itu. Dia tau Guan sedang mencoba menghiburnya.
"Makan siang sama gue yuk, Fy. Selama ini gak pernah tuh kita makan bareng sebagai partner kerja." Kata Guan.
Ify berpikir sejenak lalu mengangguk patuh, "Well, okelah. Nanti kita makan di taman payung." Guan pun mengangguk setuju.
"Setidaknya gue masih punya temen untuk berkeluh kesah. Thanks, Gu. Lo masih disini sama gue." Ucap Ify lirih. Guan mendengar nya. Ia menepuk puncak kepala Ify dengan lembut.
"Apapun demi lo, Fy." Darah Ify sedikit berdesir mendengar kalimat lelaki itu. Terlebih dengan senyum teduh yang selalu dia lemparkan untuk dirinya.
Tak ingin memusingkan dilema dalam dirinya, Ify melanjutkan pekerjaan nya begitu juga dengan Guan.
***
Guan menunggu Ify di parkiran pabrik. Dia juga sudah meminta Izin kepada Pak Arman untuk membawa Ify makan siang, dan lelaki tua itu mengizinkannya.
"Ayo pergi." Kata Ify saat tiba diparkiran.
"Gimana perasaan lo sekarang?" Tanya Guan. Motor ninja nya membawa mereka bersantai di siang hari itu menuju taman payung.
"Better, meskipun ada sisa sisa sesaknya. Tapi gue coba untuk gak bego sih." Gue terkekeh pelan mendengarnya.
Tak lama kemudian mereka pun tiba di taman payung. Guan memesan makanan untuk mereka berdua, sementara Ify pergi mencari meja.
"Guan, gue heran deh kenapa kita bisa ngasih kata motivasi untuk orang sedangkan untuk diri kita sendiri gak bisa ya?" Tanya Ify.
"Ya karena kita juga butuh manusia lain untuk membantu menghibur kita. Namanya juga makhluk sosial butuh bantuan orang lain. Gimana sih lo!" Jelas Guan yang membuat Ify terkekeh lucu.
"I see, but...gue capek sebenernya berharap untuk terus dia bisa menatap ke gue. Sedangkan dia melangkah jauh kedepan tanpa mempedulikan gue disini."
"Ya jangan bego dong, Ify! Udah jelas jelas lo tau permasalahannya dimana, mau gak mau lo harus ikhlas nerima."
"Gue benci ketika gue harus berdebar gak karuan saat tau dia notice gue, atau bahkan mengingat dia sejenak. Gue benci banget, Gu. Gue seakan akan di kutuk sama perasaan sendiri. Kan serem."
"Lagak lo di kutuk segala." Celutuk lelaki itu remeh. Ify mendengus malas tapi memang begitu adanya.
"Ternyata beberapa bulan bersama dengan dia bekerja gak ngebuat dia bisa buka hati untuk gue. Gue nya aja yang terlalu baper, ahelah taik ayam!" Dengusnya.
Guan pun menarik tangan Ify kepadanya. Mencoba mendalami isi hati gadis itu. Ify sedikit tersentak namun ia mencoba mengalihkan rasa.
"Lo bisa mencoba lagi meskipun berat, pelan pelan aja."
"Sebenernya Guan, gue tuh masih ada yang menjanggal. Hati gue kayak gak nerima dan sesak banget rasanya. Gue pengen lepasin beban ini, gue capek harus nahan sendiri padahal gimana ya, ah...gue sendiri gak bisa menjelaskan gimana pastinya. Gue benci kalau udah kayak gini."Keluh Ify, dia belum kuat untuk berdiri tegap dengan perasaan sesak ini. Dia butuh topangan.
"Gue disini, Fy. Ada buat lo kapan pun lo mau dan butuh. Biarkan pelan pelan semuanya selesai. Hati lo--"
"Batin gue gak sehat, Gu. Gue merasa bodoh dan bego itu aja."
Guan tak bisa menyahuti kembali kata kata Ify. Ia yakin yang gadis itu butuhkan hanyalah waktu untuk sembuh dan seseorang yang menyembuhkan nya.
Apakah dia mampu?
******
Maaf maaf udah ngaret berlebihan 😩🙏🙏
Anw, selamat lebaran idul fitri semuanya 😇🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
HIGH HOPES
ChickLitHanya sepenggal kisah dari seorang fresh graduate yang mencari harta tahta dan dunia disamping akhirat tentunya. *** Cover nya aku lihat di Pinterest dari karya nya kak Hanneke. Izin di pake ya kak 🙏😇