9/10

1.7K 345 40
                                    

"Kau mewarnai rambutmu?"

"Tidak. Ini efek dari Quirk milikku."

Iya, aku tahu. Aku hanya basa-basi saja tadi.

Setelah pertemuan tak terduga kami, aku memutuskan untuk mengajak Tenko ke taman untuk bicara. Tentu saja aku sudah meminta izin pada boss-ku lebih dulu. Jadi kemungkinan aku dipecat karena keluyuran di jam kerja tidak akan terjadi.

"Tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku?"

Tenko menunduk saat mendengar pertanyaanku, "Maaf."

"Aku butuh penjelasan, Tenko. Bukan permintaan maaf," ucapku padanya.

"Aku tahu." Tenko mengehela napas sebelum menoleh padaku yang duduk di sampingnya, "Tapi aku harus tetap minta maaf padamu. Entah itu saat aku meninggalkanmu di sini atau saat aku pergi tanpa pamit padamu. Aku pergi begitu saja. Kau tidak tahu betapa takutnya aku ketika kau memegang tanganku dulu? Aku takut menyakitimu saat kau memegang tanganku waktu itu. Bagaimana kalau kau hancur saat memegang tanganku? Meskipun aku memakai sarung tangan, aku masih takut keunikanku tetap bisa melukaimu."

"Hey, kau tahu itu tidak akan terjadi." Aku mencoba meyakinkannya.

"Tapi tetap saja aku takut, [Name]." Mata merah Tenko menatapku dengan lemah. "Membuatmu terluka tidak pernah menjadi hal yang aku inginkan."

Aku tidak tahu alasan kenapa jantungku tiba-tiba berdetak dengan begitu cepat sekarang. Apakah itu karena aku mendengar Tenko menyebut namaku untuk pertama kalinya? Atau karena kata-kata tulus yang dia ucapkan padaku? Terlebih iris ruby itu tak lepas dariku saat dia berbicara ; membuat debaran ini semakin keras kurasakan.

Tenko juga menjelaskan tentang kepindahan keluarganya. Dia mengatakan bahwa mereka berangkat ketika dia sedang tertidur lelap. Tenko bahkan kebingungan. Ketika dia bangun, tiba-tiba saja sudah berada di dalam pesawat yang akan menerbangkan mereka ke belahan negara lain. Ayahnya beralasan bahwa kepindahan mereka karena urusan pekerjaan, tapi Tenko ragu dengan apa yang ayahnya katakan.

"Satu tahun yang lalu, aku kembali ke Musutafu dan memutuskan untuk masuk ke sekolah khusus pelatihan pahlawan di Yuuei." Tenko mengakhiri penjelasannya.

"Jadi, kau calon Pahlawan sekarang?" Aku tidak bisa menahan senyum ketika Tenko mengangguk mengiyakan pertanyaanku.

"Apakah ayahmu-...."

"Aku tidak peduli tanggapan ayahku, [Name]." potongnya cepat. "Ini hidupku. Aku yang akan menentukan masa depanku sendiri." Tak ada keraguan dalam iris semerah darah itu ketika Tenko mengatakannya.

Aku senang akhirnya kau bisa mewujudkan impianmu, Tenko.

"Kau tidak berubah," ucapku dengan senyum. "Sampai saat ini, kau tetap berpegang teguh pada mimpi kecilmu untuk menjadi seorang pahlawan di masa depan."

"Kau juga tidak berubah." Senyumku tampaknya menular pada Tenko. Karena kini laki-laki di sampingku juga tengah tersenyum menatapku, "Masih hangat dan bersinar seperti yang kuingat."

Hangat dan bersinar? Dia tidak menganggap aku matahari kan? Matahari yang menerangi hidupnya, mungkin? Ekhm

Aku tidak tersipu, sungguh. Hanya saja jantungku terus saja berdetak semakin kencang seperti genderang mau perang.

Dasar jantung bodoh. Berhentilah berdetak dengan cepat!

"Kau tinggal di mana sekarang?" Pertanyaan Tenko membuat kewarasanku kembali membumi.

Aku tinggal di mana? Mungkin di hatimu.

Tentu saja aku tidak akan mengatakan itu padanya. Bagaimanapun juga, aku masih punya harga diri.

"Aku masih tinggal di rumahku yang dulu. Kenapa?"

"Tadinya begitu aku tiba di Jepang, aku ingin pergi menemuimu setelah sekian lama. Hanya saja, aku tidak tau di mana kau tinggal. Lagipula, aku takut kau marah padaku karena pergi tanpa pamit." Manik Ruby Tenko menatapku cemas ketika dia mengatakan itu.

Ah, apakah Tenko akan selalu semanis ini? Tidak ketika dia 5 tahun atau 17 tahun, orang ini selalu bisa membuatku jatuh cinta padanya lagi, lagi, lagi, dan lagi.

Untuk kalian semua, tolong jangan tatap aku seolah aku ini pedofil. Terima kasih.

"Aku memang kesal. Tapi aku tidak marah, Tenko."

Apakah aku berhalusinasi atau memang mata merah itu memiliki kilaun di dalamnya? Ugh, silau.

"Benarkah?" tanyanya senang. "Apakah itu berarti kita masih bisa berteman?"

Jangankan berteman, berkencan pun aku jabanin.

"Tentu saja."

Entah karena reflex atau bukan. Aku hanya bisa berpaku saat Tenko memelukku dengan erat.

Ya Tuhan, kuharap jantungku tidak hilang.

"Terima kasih, [Name]!"

Iya. Terima kasih juga sudah mengisi daya untuk jiwa bucinku, Tenko.

Menyelamatkan Penjahat || Shigaraki Tomura x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang