3. Ketika Waktu Berhenti

409 106 4
                                    

1 tahun kemudian..

Di sebuah kafe yang sepi, hanya ada Lavia dan Elena sedang duduk sambil menikmati teh.

"Apakah kita tidak akan buka, Elen?" tanya Lavia. Sudah lewat jam buka kafe mereka, tapi Elena tak memperbolehkannya membuat tanda buka didepan kafe.

"Nyonya, apakah sebaiknya kita hari ini tidak usah buka saja? Saya harus pergi ke istana hari ini. Jadi jika kafe ramai, anda pasti kesulitan mengurusnya" kata Elena bimbang.

"Kau mencemaskan aku? Hei, ini kafeku tau!" kesal Lavia.

"Tapi-"

"Sudahlah Elen. Kau harus pergi sekarang dan aku harus membuka kafe juga" Lavia memotong ucapan Elena dan berjalan kearah pintu.

Dia memutar tanda tutup menjadi buka di pintu kafe lalu membuka pintu kafe.

"Cepatlah, nyonyamu ini sudah repot repot membuka pintu untukmu lho" ujar Lavia.

Elena menghela nafas dan berjalan mendekati Lavia. "Kalau begitu, anda tidak boleh mengeluh pada saya nanti ya?"

"Hm hm tentu saja~" Lavia mengangguk angguk paham.

"Saya pergi kalau begitu. Sampai nanti nyonya" Elena menunduk hormat sebelum pergi.

"Baiklah, sampai nanti~" Lavia melambaikan tangannya sambil melihat Elena naik ke kereta kuda.

Setelah itu dia kembali menutup pintu dan pergi ke meja pelayanan.

Lavia menata kue kue didalam etalase kaca di deretan meja pelayanan.

Setelah itu dia membersihkan meja meja pelanggan dan mengganti bunga bunga segar di setiap meja.

Tririingg~

"Selamat pagi, apakah ada yang bisa saya bantu--" Lavia yang sedang membersihkan meja, menoleh begitu mendengar lonceng pintu berbunyi.

Tapi perkataannya terputus begitu melihat sosok tinggi yang masih berdiri di ambang pintu sambil menatapnya.

Dalam sepersekian detik yang terasa panjang, waktu seolah olah berhenti di tempat.

Pupil emas Lavia sedikit demi sedikit melebar, terpana pada pria tampan yang memiliki cahaya matahari membutakan di belakangnya.

Tubuh pria itu tinggi dan sempurna, begitu pula dengan wajahnya. Rambutnya sehitam matanya, mengayun pelan mengikuti hilir angin yang datang menerpa.

Sungguh rupa yang seharusnya hanya ada di surga, pikir Lavia seketika.

Pria itu juga sama. Dia diam diam termenung, tak bisa berkata kata tentang betapa terpesonanya dia sekarang.

Seorang wanita cantik yang menggunakan gaun indah dibalik apronnya sedang memegang bunga.

Dan entah kenapa, bunga ditangannya terlihat kalah indah oleh wanita cantik yang menggenggamnya.

Rambut hitam pekat yang sedikit bergelombang, mata kuning cerah yang bersinar bagai emas di bawah matahari pagi, kulit putih yang terlihat halus namun rapuh, serta wajah kecil seindah dewi.

Keduanya tanpa sadar saling terpana. Sama sama memuji dalam hati.

Dan hingga akhirnya, dalam waktu yang sangat singkat, tanpa mereka sadari, mereka saling memberikan hati kepada satu sama lain.

"Bisakah saya.. Memesan kopi oolung dan kue terenak yang ada disini?" pria itu bertanya setelah diam cukup lama.

Lavia yang tersadar langsung berdiri tegak dan sedikit menunduk. "Tentu tuan. Anda ingin duduk disini atau membawanya pulang?" tanyanya.

The metamorphosis of a villainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang