5. Aku Ingin Mendekatimu

313 86 8
                                    

"Berikan" Arluke mengambil piring Lavia dan menukarnya dengan piringnya.

Lavia menatap kosong pada piringnya yang sekarang. Steiknya sudah terpotong rapih dengan ukuran yang sama rata dan pas dengan ukuran sekali suap Lavia.

"Terima kasih.." ucap Lavia.

Benar benar, setiap kali Lavia bersama Arluke, warna merah selalu menjadi warna kulitnya yang asli.

"Sama sama" jawab Arluke tanpa melihat Lavia, karena dia sedang sibuk memotong steik miliknya.

Lavia mulai memakan makanannya tanpa mengalihkan pandangannya dari Arluke sama sekali.

Rasanya, makanannya menjadi seratus kali lipat lebih lezat jika ia makan sambil menatap pria tampan itu.

Apakah otakku mulai gila? Pikir Lavia diam diam.

Tiba tiba saja Arluke mengangkat kepalanya, dan keduanya saling bertatapan.

Selalu, setiap kali Lavia selalu merasa mata hitam itu berhasil menenggelamkannya kedalam lubang tak berdasar.

Waktu kembali seolah berhenti. Menciptakan ruang hanya untuk Lavia dan Arluke.

"Bisakah kita berbicara dengan santai?" Arluke tiba tiba bertanya.

Dia merasakan hatinya kembali memberontak, dengan keras kepala meminta untuk mengikis jarak diantara mereka.

Jadi ini adalah langkah pertama yang perlu dia lakukan.

"Mari berbicara santai dan menjadi lebih dekat. Lavia, aku ingin dekat denganmu" entah dapat keberanian darimana, Arluke membiarkan saja mulutnya mengatakan apa yang diinginkan hatinya.

Blush~

Lavia yang tidak siap dengan serangan mendadak itu tidak memiliki pilihan lain selain menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan demi menutupi wajah merahnya.

Tapi tangan Arluke menarik tangan kanan Lavia dan menaruhnya di meja. Dia menggenggamnya sambil terus mengelusnya sementara matanya lurus menatapnya.

Karena merasa tak lagi berguna, Lavia juga menurunkan tangannya yang lain dan memberanikan diri balas menatap Arluke yang terlihat bersungguh sungguh.

"Lavia, aku ingin mendekatimu. Izinkan aku ya, hm?" Arluke mengangkat alisnya dan sekali lagi bertanya. Matanya berkilat dengan cahaya penuh harapan.

Dia tau ini kedengarannya gila. Lagipula, dia juga tak percaya dengan yang namanya cinta, apalagi cinta pada pandangan pertama.

Itu terdengar tak masuk akal dan mustahil. Bahkan setelah kenal bertahun tahunpun, rasa sayang belum tentu tumbuh.

Tapi semuanya berbeda sejak seminggu yang lalu.

Jangankan melogikakan sesuatu, otaknya sendiri saja sudah menjadi tidak logis.

Dia sama sekali tak bisa menyingkirkan Lavia dari pikirannya.

Rupanya, wajah bingungnya, senyum manisnya, terutama pipi merahnya, Arluke tidak bisa berhenti memimpikan itu semua.

Dia memang sibuk selama seminggu ini, tapi dia juga berusaha menepis perasaan aneh ini dengan menghindari bertemu Lavia.

Hingga akhirnya hari ini, dia merasa tak tahan lagi, dan memutuskan untuk membuktikan sendiri kegilaannya.

Dan benar saja.

Kegilaannya pada wanita itu tumbuh menjadi semakin liar dari detik ke detik.

Ini hanya pertemuan kedua mereka, tapi Arluke sudah ingin mencubit pipinya, memeluknya, bahkan menciumnya.

The metamorphosis of a villainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang