4 - Ngobrol

656 93 42
                                    

Sorry ya guys cerita ini terbengkalai 🤧. Buat yang memasuki semester 6 apalagi anak Teknik pasti tau ya sesibuk apa. Mohon maklum yaa...

*****

Sorry Na aku gak bawa apa-apa.” Ringis Adit yang duduk di samping Kasur Luna.

Luna mendengar itu pun menggeleng. “Elah kayak sama orang lain aja, santai aja kali.” Luna teringat saat Adit datang dengan wajah seperti kesakitan. “Eh lo kenapa, Dit? Gue liat muka kek nahan sakit?”

Ah, ternyata Luna peka terhadap dirinya. Apa raut wajahnya mudah terbaca?

“Kena Bola Basket, ada Cowok gak sengaja lempar.”

“Ganteng gak nih?”

“Dih, kenapa emang?” Adit mendengar itu pun mendengus, masih bisa saja Luna berpikir soal ganteng.

“Bukannya lo suka ama modelan gitu.” Jawab Luna dengan nada mengejek, Adit hanya bisa mencibir tidak jelas.

Luna memang sahabatan dengan Adit sejak awal masuk SD, karena Ayahnya yang sudah bekerja lama di tempatnya selalu membawa Luna ke Rumahnya untuk bermain.

Fyi---Luna itu cantik namun sedikit tomboy, tetapi ia tetap mempertahankan rambutnya tumbuh panjang dan sangat indah. Dan yang pasti, Luna tahu semua seluk beluk Adit, begitu pun dengan Adit. Makanya jika dari mereka ingin saling curhat, pasti saling mendengarkan.

“Soal si selebgram yang ada di Sekolah lo itu, siapa namanya…”

“Arven.” Sahut Adit cepat, yang di balas tatapan sinis Luna.

“Cowok inceran aja ingetnya nomor satu.” Luna hanya menggelengkan kepalanya. “Gimana? Udah kenalan?”

Setelah mendengar pertanyaan itu, membuat Adit menutup wajahnya dengan kedua tangannya karena malu. Ah, Adit hanya bersikap begini di depan Luna saja. Namun jika sudah di luar, ia akan bersikap berbeda lagi.

“A-aku sudah kenalan, ini lebih dari kenalan, Na.”

Setelah itu Adit menceritakan semuanya. Di mulai Arven menolongnya untuk pertama kali, sapaan Arven saat pertama memulai Sekolah, dan yang terakhir ini, Arven membantunya mengusap memarnya.

“Astaga, itu biru banget Dit! Lo ketahuan bokap habis lo, gak Sekolah seminggu bakal.” Sahut Luna melihat memar di pinggang Adit.

“Tapi gak papa, yang penting Kak Arven bisa nyentuh kulit aku.” Balas Adit malu-malu.

“Anjay, lo udah kayak jablay aja, Dit. Di sentuh segala.” Luna mengernyit aneh.

“Itu mulut jaga ya!”

Luna menggelengkan kepalanya, lalu ia bersandar di tepi Kasur. “Mau denger nasehat dari gue gak?” Tanya Luna.

“Boleh. Apa?”

“Elo, Dit. Udah tau ‘kan resiko suka sama orang yang di sukai banyak orang juga. Apalagi itu Cowok straight, selurus masa depan gue,” Ucapan terakhir di balas tatapan datar Adit.

“Jadi mulai sekarang lo kudu kuatin mental, iman, dan banyak do’a. deketin Cowok kayak Arven pasti gak gampang. Banyak saingan dan elo juga pasti banyak kecewanya. Lo dapetin dia syukur, gak dapet ya terima takdir aja.”

Nasihat dari sosok sahabatnya membuat Adit terdiam. Apa yang di katakan Luna semua benar. Walaupun begitu bukan berarti Adit menyerah, dia saja belum memulainya. Dia akan berjuang untuk medapatkan apa yang dia mau, jika memang takdir menjawan ‘tidak’, maka Adit akan berhenti saat itu juga.

*****

Malam harinya, Arven, Raka, Tommy, dan teman-teman Basketnya nongkrong di sebuah Café langganannya. Hanya sekedar ngobrol asal dan random, juga sudah lama mereka tidak nongkrong begini. Terakhir kali dua minggu yang lalu.

SomedayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang