Two

528 84 3
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akhirnya Lia terbebas dari si penguntit Shin Yuna. Dimana lagi kalau bukan kamarnya. Bebas juga dari si anjing penjaga.

Lia tidak mengira kalau hari pertama masuk sekolah akan diawasi dengan sangat ketat.

Oh no..oh no..oh nonononono~

Baru saja Lia merebahkan tubuhnya diatas kasur, menutup kedua mata untuk menghilangkan beban, tapi seseorang tidak melepaskannya begitu saja.

Dering hpnya menjadi lebih sering berbunyi.

"Apa?" Jawab Lia menempelkan hp ditelinga kanannya.

"Jangan terlalu kasar sama Yuna, lo--"

"Emang lo siapa pake ngatur gue harus gimana, cuma disuruh ngawasin gue doang kan. Selebihnya bukan urusan lo."

Cowok itu terdengar sedang menghembuskan nafasnya kasar, tapi bodo amatlah. Memang benar kan apa yang baru Lia katakan. Anjing penjaga tidak punya hak untuk memberi titah, melainkan hanya perlu mengawasi.

"Besok jadwal jam 6."

"Gue tau," jawabnya tak kalah dingin.

Lia tidak menyukai orang itu, baru juga bertemu minggu kemarin, tapi gelagatnya sudah sok ngatur.

Yang berhak memberikan saran dan masukan hanyalah Mas Lino. Psikolog yang sudah beberapa bulan belakangan ini ia temui.

Yap, itu juga alasan kenapa Lia tidak jadi mendaratkan pukulan pada Yuna saat diperpus, karna menemukan sebuah tatapan yang menunggu untuk merekam kejadiannya.

Kalau sampai hal itu terdengar ditelinga Mas Lino, mungkin Lia akan mendapatkan jangka waktu perawatan yang lebih lama dan--semua hal yang tidak ia suka harus berjalan dengan penuh rasa terpaksa.

Lia tidak suka menemui psikolog, tidak suka diawasi, tidak ingin berinteraksi dengan orang lain, tidak ingin berhubungan apapun jenisnya.

Ia hanya ingin dunia berputar sesuai dengan kemauannya.

Maka dari itu, Lia mempelajari semua hal agar tidak bergantung pada orang lain. Tapi lihatlah, semakin tinggi ia berdiri makan gravitasi semakin kuat untuk menyuruhnya merunduk.

Lia ingat saat dirinya memilih untuk akselerasi dibangku SD. Ia cukup nyaman tanpa perduli manusia yang sibuk iri dan dengki mengelilingi bangkunya. Sampai diwaktu hal yang membuat traumanya datang.

Lia mendapat bullying selama 1 tahun, tanpa sepengetahuan ayahnya.

Lia hanya tinggal berdua--atau lebih tepatnya sendiri karna si bapack kek bang toyib. Sibuk bekerja karna ingin menutupi kesedihan.

Orangtua Lia saat itu memang memutuskan untuk cerai saat usianya menginjak 10 tahun.

Tanpa Lia sadari, air matanya perlahan mengalir. Ia juga tidak paham dengan respon tubuh yang kadang seperti sebuah spontanitas. Tidak sedih namun menangis, sedang kesal tapi malah tersenyum.

Positions ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang