"Jika nanti kita bertemu kembali, jangan pernah kau ciptakan perpisahan lagi."
_Imanuel_
* * *
Cia berjalan di koridor sekolah dengan sangat lesu, ia tak mau pindah dari sekolah nya ini, juga Manu.
"Cia!" Cia menoleh, dan mendapatkan Manu yang tengah berlari menghampirinya.
"Iya Manu?" balas nya.
"Kamu kenapa? sakit?" tanyanya.
"Cia, mau pindah Manu...."
"P-pindah? Pindah kemana?" Cia menceritakan semua perkataan Papahnya semalam.
"A-apa bisa sampe bertaun-taun?" tanyanya tak percaya. Cia mengagguk lesu. Bel masuk berbunyi, membuat kedua sejoli itu terpaksa mengakhiri percakapannya.
Manu termenung di tempatnya.
"Ah aku lupa nanya, kapan Cia pindahnya!"
Bel istirahat pun berbunyi, membuat seluruh murid Genius Elementary School berhamburan menuju kantin sekolah. Beda dengan Cia, dia lebih memilih tetap berada di dalam kelas.
"CIA!" teriak Manu.
"Kenapa, Manu?" tanya Cia heran.
"Kamu pindah kapan?"
"Ini hari terakhir aku sekolah di sini Manu..." tiba-tiba cairan bening itu menetis membasahi pipi tembamnya.
Manu mengusap air mata itu. "Jangan nangis Cia, suatu saat nanti kita bakal bertemu lagi ko."
"Tap--"
"Udah ya jangan nangis lagi, ouh iya jangan lupain aku ya!" kata Manu.
"Iyaa, kamu juga ya? Jangan lupain Cia...."
"Ayo Cia kita beres-beres!" ajak Acha. Sedangkan Cia dia terlihat malas untuk melakukan sesuatu.
Setelah selesai membereskan barang-barang, Cia segera menuju mobilnya.
Sebelum menaiki mobil, Cia kembali menatap rumahnya sekali lagi untuk terakhir kalinya. Lalu dia naik ke dalam mobil dan duduk di belakang bersama Acha.
Berat rasanya ketika harus meninggalkan tempat yang membawa sejuta kenangan, berat rasanya ketika terpaksa meninggalkan orang yang kita sayang untuk waktu yang cukup lama. Cia berdoa, suatu saat nanti dirinya akan bertemu lagi dengan Manu.
Air matanya kembali mengalir, saat mobil sudah melaju perlahan meninggalkan tempat yang membawa sejuta kenangan itu.
"Jangan lupain Cia ya Manu...." lirihnya. Sambil menatap kendaraan yang berlalu-lalang.
"Cia kenapa kamu nangis?" tanya Acha.
"Enggak." Niken yang mendengar percakapan anak-anaknya pun angkat bicara. "Udah kalian berdua tidur!"
Cia mencoba untuk memejamkan mata walau air matanya terus mengalir hingga membasahi pipinya.
"Ayo, bangun-bangun!" kata Niken sambil menepuk-nepuk pipi kedua anaknya.
"Eunghh." Cia membuka matanya perlahan, setelah sadar sepenuhnya baru ia turun dari mobil. Sedangkan Acha ia di gendong oleh Nino.
"Cia kamar kamu di atas sebelah kanan, kalo kamu Acha di atas sebelah kiri," kata Niken sambil memberikan koper mereka masing-masing.
"Iya Bunda." kata mereka serempak.
"Bunda sama Papah mau istirahat."
Cia merapihkan barang-barangnya. Hari sudah semakin sore, namun Cia tetap berada di balkon kamarnya. Mencoba menikmati senja hari ini, sesekali matanya terpejam saat angin sore menerpa rambutnya hingga mengenai wajah cantiknya.
Setelah cukup lama berdiam diri di balkon kamarnya, Cia kembali masuk untul membersihkan tubuhnya, setelah selesai dia turun ke bawah untuk menemui keluarganya.
"Cia! Lihat deh Papah beliin aku rumah berbie! Bagus kan," katanya sambil menunjukkan rumah berbienya.
"Cia mana Pah?" tanya Cia pada Nino.
"Kamu buku gambar aja, nih." Cia menerimanya dengan senyum yang mengembang.
"Wah, makasih ya Pah!"
"Ih apaan si Cia buku doang, bagusan juga punya aku!" ledeknya.
"Ck! Bunda Cia mau makan,"
"Ya udah makan duluan aja." Cia pergi menuju meja makan, lalu melahap makanannya hingga habis.
"Udah selesai makannya?" tanya Niken.
"Udah bunda, Cia ke atas ya!" pamitnya. Cia merebahkan tubuhnya di atas kasur barunya.
"Cia ga mau di sini..."beonya.
Cia mencoba memejamkan matanya untuk segera tidur, karna hari esok bakal menjadi hari yang lebih berat lagi.
* * *
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gracia [END]
Teen Fiction[LENGKAP] "Semua terbiasa tanpa saya. Dan saya harus terbiasa tanpa semuanya." _Gracia Anatasya_ Siapa sangka, Gracia Anatasya gadis berusia 8 tahun yang baru menginjak sekolah dasar harus melewati kejamnya hidup. Dirinya tak pernah di anggap oleh...