Masjid dan gereja, keduanya bisa berdampingan. Mengapa kita tidak?
_Gracia_
Kita bukan masjid dan gereja, kita manusia. Bilamana mereka memiliki nyawa, mungkinkah bisa berdiri berhadapan serta harmonis dengan perbedaannya?
_Imanuel_
* * *
Hari ini Cia bangun lebih pagi dari biasanya. Pasalnya, ia ingin menghindari keluarganya, terutama Nino. Ia belum siap untuk bertemu dengan keluarganya.
Cia berjalan santai di koridor sekolah nya, ia segera pergi ke kelasnya. Setelah sampai ia duduk di bangku paling belakang seorang diri.
Cia menghela nafas gusar, mengapa masalah terus menghampirinya? Cia lelah, sangat lelah. Tuhan begitu jahat, menuliskan garis takdir untuknya yang sulit ia terima. Dulu, Cia berharap keluarganya pasti bisa menerima kehadirannya. Namun, setelah mengetahui kebenaran yang menyakitkan itu sepertinya dirinya yang perlahan akan menjauhi keluarganya. Pengecut? Memang.
Bel masuk pun berbunyi, membuat seluruh murid berhamburan masuk kedalam kelasnya masing-masing. Cia malas untuk mengikuti pelajaran hari ini, pikirannya masih kacau. Ia butuh ketenangan.
Bosan, tidak fokus. Itu lah yang ia rasakan pagi ini. Cia maju kedepan untuk menemui guru yang sedang mengajar di kelasnya itu. "Bu saya Izin ke toilet ya."
"Baik," tanpa menunggu lagi, Cia berjalan gontai menuju rooftop. Sebenarnya, ia malas untuk berangkat ke sekolah. Namun, demi menghindari keluarganya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sekolah.
Cia duduk di bangku panjang, tatapannya kosong. Perkataan Nino dan Niken hari lalu terus berputar di pikirannya. Cia mencoba membuang jauh-jauh, namun ia terus memikirkan kejadian hari itu.
Cairan bening itu kembali menetes. Ntah sudah betapa bnyak ia menangis. Tiba-tiba, Cia teringat sesuatu. Ia segera mengeluarkan handphone nya.
Pahlawannya Cia❤️
Assalamualaikum Pah, kirim alamat makam bundanya Cia.
Ia menatap nanar nama kontak Papahnya. Ck! Miris. Cia kembali mengecek ponselnya saat ada suara notifikasi.
Pahlawannya Cia❤️
Assalamualaikum Pah, kirim alamat makam bundanya Cia.
(Send location)
Cia tersenyum, saat Nino mengirimkan lokasi tempat dimana bundanya di makam kan. Ia memasukkan handphone nya kembali kedalam saku androknya.
Bel istirahat, telah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Namun, Cia enggan beranjak dari tempatnya. Ia lebih memilih disini. Sendirian. Cia kembali melamun, ia ingin kembali menjadi Cia kecil. Menjadi Cia besar terlalu rumit baginya, mungkin menyenangkan kembali menjadi Cia kecil. Namun, mustahil. Ini sudah takdir, tuhan hanya ingin melihat bagaimana kita bisa melewati ujian yang ia berikan dengan sabar. Mengeluh, bukan jalan yang tepat. Semua butuh proses.
"Cia?" Cia menoleh, ternyata itu Manu.
"Ngapain, kamu di sini?" tanyanya.
"Diem." sungguh, Cia malas untuk sekedar berbicara. Rasanya berat.
Manu mengerutkan dahinya. "Kamu kenapa, hm? Cerita sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gracia [END]
Teen Fiction[LENGKAP] "Semua terbiasa tanpa saya. Dan saya harus terbiasa tanpa semuanya." _Gracia Anatasya_ Siapa sangka, Gracia Anatasya gadis berusia 8 tahun yang baru menginjak sekolah dasar harus melewati kejamnya hidup. Dirinya tak pernah di anggap oleh...