11. Sebelas

443 64 6
                                        

Tay tidak tahu kapan mulainya. Dia juga tidak sadar mengapa hal ini bisa jadi kebiasaannya. Yang ia pahami, jika hatinya merasa gelisah ataupun sedikit bersedih hal yang pertama muncul di kepalanya adalah New. Dan perasaan buruk apapun yang berkecamuk itu bisa seketika saja sirna hanya dengan melihat lelaki berkulit putih yang minggu lalu mengikatnya dalam pelukan— meski hanya sejenak.

Seperti siang ini, demi melihat New yang bisa dengan mudah mengusir lelahnya, Tay sengaja berlama-lama duduk di perpustakaan. Di satu sudut paling utara lantai dua, untuk memandang New yang berjarak lima meter darinya dan rela melewatkan jam makan siangnya. Padahal sejam lalu Tay sudah tidak konsentrasi menggarap tugas. Keluh kesah ia lontarkan pada teman satu kelompoknya, pusing lagi lapar. Ketika seluruh tugas sudah selesai dan teman kelompoknya mulai berhamburan pergi, Tay urung merealisasikan segala niat untuk segera berlari secepat mungkin ke kantin, alasannya? Tentu saja New, apalagi?

New tidak sendiri di sana. Ada empat mahasiswa lain bersamanya. Tay sempat celingukan beberapa kali, mencari sosok Bhumi. Manusia satu itu kan biasanya suka menempel pada New, begitu Tay berbicara dalam di dalam hati. Tapi Tay tidak menemukan sosok Bhumi di sekeliling New dan hal itu menghadirkan segaris senyum di wajahnya.

Satu setengah jam berlalu dan sepertinya tidak ada tanda-tanda New akan segera mengakhiri sesi mengerjakan tugasnya. Meski dari kejauhan, Tay bisa melihat sesekali New mengernyitkan dahi. Tay juga bisa melihatnya — satu dua kali — menghembuskan nafasnya kasar. Tugas di depannya seperti menyedot seluruh atensi laki-laki itu. Hingga saat Tay dan New sama-sama berdiri yang hanya dibatasi oleh segaris rak di antara mereka, New masih tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang tidak memutus pandang darinya. Setengah jam berikutnya berlalu lagi dan New masih sangat serius berhadapan dengan layar di depannya, tak terusik oleh apapun di sekitarnya.

Usaha Tay membuahkan hasil. Tepat di menit ke seratus dua puluh lima ia menunggu, New mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya ke udara, kepalanya dipatahkan kekanan dan kekiri, berusaha melepas sebagian lelah yang tumbuh d leher dan bahunya. Ketika New memutar badannya tiga puluh lima derajat ke kanan, matanya bersobok dengan sepasang netra legam milik seseorang yang ia kenal— yang memang sedari tadi mengharapkan perhatian darinya. Reflek tangan New melambai, sedikit terkejut dengan keberadaan Tay di sana. 'Kamu ngapain?' tanya New tanpa suara.

Tay yang tidak menangkap apa yang diucapkan New bergegas membereskan semua barang dan memberi isyarat bahwa ia akan mendekat ke tempat New berada. Dengan pasti, New mengangguk.

Teman-teman New yang tadi duduk di satu meja dengannya segera menyingkir dan memberikan sebuah kursi saat tahu Tay datang.

"Ehem, jadi ikut kita makan gak New?" tanya teman New yang memiliki tubuh paling tinggi di antara mereka.

"Errr." New berpikir, melihat sekilas ke arah Tay sebentar. "Aku skip dulu ya. Ikut lain kali," New tersenyum.

Tay mendekatkan kursinya pada kursi New saat semua teman New sudah hilang di tikungan tangga. "Jangan senyum semanis itu, kecuali buat aku," bisik Tay dengan nada penuh tekanan.

New menoleh, melempar satu lirikan yang diikuti satu cengiran, "Iya. Cari makan yuk! Laper," ucap New yang sudah berdiri sambil memegang perut dengan sebelah tangannya.

***

Tay dan New kini berdiri di depan rumah bercat gading yang pagarnya memiliki warna serupa.

Tay mengeluarkan sebuah kunci dan membuka pintu pagarnya.

"Te, kita ngapain kesini?" tanya New sembari menahan sebelah lengan Tay saat ia akan melewati pintu pagar itu.

"Makan," jawab Tay ringan dan kemudian menarik tangan New yang tadi sempat menahannya.

R E K A M (Taynew)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang