14. Sebuah Pertemuan

263 40 5
                                    

Seminggu menjalin kasih bersama Tay sebenarnya tidak membawa perubahan besar pada hidup New. Hanya saja ada perasaan bahagia meletup-letup dalam dada tiap kali Tay bersamanya.

"Kenapa, sih? Ada yang aneh ya di wajah aku?" tanya Tay saat melihat New menatap ke arahnya dengan sebersit senyum yang tak bisa ia artikan.

New menggeleng sekali, "Enggak ada."

"Terus kenapa senyum-senyum gitu?"

"Pengen aja, emang gak boleh? Kan senyum ibadah."

Tay terkikik, "Oke, senyum emang ibadah. Tapi kalau kamu senyumnya sambil ngelihatin aku kayak gitu, bikin jantung aku dag dig dug, tauk," kata Tay sambil memegang dadanya seolah kesakitan.

"Apaan sih?" respon New, malu-malu.

Tay tertawa melihat reaksi kekasihnya. 'Kekasih'. Rapal Tay dalam hati. Siapa sangka ia bisa menambatkan hati pada sosok New Thitipoom, awal pertama bertemu, membayangkan saja tidak pernah.

"Tay, aku jadi loh ke rumah kamu," ujar New.

Ah, Tay ingat, adik bungsunya kemarin memohon-mohon pada Tay agar mau membujuk New untuk menemaninya belajar. Bukan karena Tu tidak suka dengan homeschooling-nya, ia hanya butuh teman baru untuk berinteraksi. "Oh."

"Oh, doang?"

"Terus gimana?" Tay terlihat sedikit berpikir. "Eh, menurut kamu, apa aku bawa Tu ke rumah bunda aja kali ya?"

"Kenapa emang?" New kini melirik Tay dengan penasaran.

"Gak tau, firasat aku gak enak aja."

"Apa ini tentang ayah kamu?" tanya New hati-hati. Dari awal New tahu kalau Tay tidak terlalu suka jika pembicaraan mereka mengarah kepada sosok Sang Ayah. Pengalamannya dan Tay sangat berbeda tentang gambaran Ayah. Besarnya ambisi pada Ayah Tay mengeduk jurang pembatas di antara keduanya. New bisa merasakan itu.

"Salah satunya." Tay jujur. "Gak tau, rumah itu kayak bukan tempat yang aman buat kamu, itu aja, sih."

New meraih telapak tangan Tay, menautkan jemarinya dengan jari-jari Tay. "Tenang aja, aku bisa jaga diri. Kamu gak perlu khawatir. Ayah kamu gak bakalan bunuh aku sekali ketemu gitu, kan?"

"New, omongannya!"

Tay merenung. Cara ayahnya membunuh orang mungkin tidak seperti yang disiarkan dalam berita-berita kriminal; secara langsung menggunakan benda tajam atau senjata api. Ayahnya bisa lebih kejam dari itu. Membunuh perlahan dengan keadaan, tidak terdeteksi, dan selalu bisa tertutupi. Tay kadang ragu jika ayahnya masih memiliki hati. Satu-satunya yang ia tahu, ayahnya hanya akan menunjukkan kasih pada Namtan dan Tu.

New mencoba tertawa, meski tak membawa perubahan pada raut khawatir Tay. "Aku bakalan baik-baik aja. Kan, ada kamu yang bisa jagain aku."

Dan Tay akhirnya tersenyum. "Kenapa kamu selalu berhasil bikin aku tenang, sih?"

"Hmm, mungkin semacam kelabihan, a gift," ujar New sambil mengedikkan bahu.

Dan keduanya tertawa.


****

Tu ada di teras saat Tay dan New sampai.

"Kak New!" teriak Tu saat melihat New turun dari mobil.

"Hai," sapa New dan langsung memeluk tubuh kecil Tu. "Kok di depan?"

New memang terlambat; hampir empat puluh menit. Kelas terakhirnya terpaksa mundur usainya karena ada diskusi alot juga banyak tugas diberikan sebelum ujian akhir semester.

R E K A M (Taynew)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang