5. Gelanggang

553 81 14
                                        

Hujan.

New mendengus tertahan menatap langit yang sepenuhnya kelabu, memberi pesan bawa keadaannya tidak akan berubah cerah dalam waktu dekat.

Ponsel yang terselip di sakunya sudah bergetar sejak sepuluh menit lalu, tapi ia enggan mengangkat, sudah tahu siapa yang ada di seberang sana. New kembali mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tujuh menit lagi, atau dia akan terlambat.

Tak menunggu lama, akhirnya New memutuskan berlari di bawah hujan. Tas hitam yang tadi bergelayut di punggung sudah berpindah ke atas kepala, salah satu usaha New agar tidak basah, meskipun ia tahu akan sia-sia.

Pukul empat lebih lima menit.

New terlambat. Gelanggang itu sudah ramai, penuh dengan manusia yang siap berolahraga. Beruntungnya, latihan sore ini belum dimulai— pelatih belum memulai sesi latihan sore itu.

Melihat New datang dengan tergesa, Bhumi yang dari tadi panggilannya tidak digubris segera menghampiri New.

"Dari mana aja, sih? Telpon aku gak diangkat," cecarnya tanpa henti.

New hanya memandang Bhumi sekilas, melempar senyum seadanya dan bergegas melepas kemejanya yang basah karena hujan, menggantinya dengan kaos bersih dari dalam tas yang ikut basah sebagian. Aksi yang dilakukan New menarik perhatian banyak orang. Bahkan beberapa wanita terpantau memekik saat New tak sengaja memamerkan kulitnya yang cenderung pucat.

Dugg.

Setelah kaos sudah terpakai sempurna, entah dari mana bahunya disenggol sangat keras oleh bahu Tay. Bukannya minta maaf, Tay hanya melempar tatapan tidak suka.

'Apa lagi salahku kali ini?' Pikir New. Dia kira setelah malam itu berakhir dengan keduanya melempar senyum, Tay akan melunak. Minimal tidak harus melempar boomerang perang seperti tadi. Nyatanya perkiraan New salah. Tay sepertinya tetap tidak mau bersikap baik padanya.

Bhumi yang melihat kejadian cepat itu hanya melongo sambil mengelus bahu New yang kelihatannya sakit.

"Kalian masih berantem, ya?" bisik Bhumi di ujung telinga New.

Sambil balik memandang ke arah Tay, New hanya mengedikkan bahunya, "Kalau dia emang gak bisa baik. Aku juga bisa," ujar New yang tidak menjawab pertanyaan Bhumi sama sekali. Dilemparnya tas sembarangan ke pinggir lapangan. Semangatnya latihan sore ini tiba-tiba saja menguat. Dia tidak boleh terlihat lemah, dan jika diberi kesempatan bertanding dengan Tay, dia harus menang, tekad itu dibangunnya kuat dalam hati.

"Hei, jangan marah, New Thitipoom!" ujar Bhumi yang melihat api semmangat di netra New sambil mengekor di belakangnya yang berjalan cepat ke tengah lapangan.

Latihan hari itu dimulai dengan pemanasan. Setiap anggota lari mengelilingi lapangan— dengan jatah sepuluh putaran. Kemudian dilanjutkan dengan latihan fisik. Peluh sebesar biji jagung menghiasi dahi New yang memang sudah lama tidak berolahraga. Baru lima kali putaran dadanya terasa sesak. Oksigen di gelanggang itu rasanya kurang. Meski demikian, New terus mengikuti sesi latihan tanpa pernah memperkirakan akibatnya.

Saat hampir menyelesaikan latihan fisiknya, entah di lompatan yang keberapa, New merasa tubuhnya limbung, dunia seakan terbalik, orang-orang di depannya seperti memiliki duplikat— bayangannya jadi dua. Detik berikutnya New merasa kakinya lemas seakan tulang betis dan tulang keringnya menghilang. Matanya mengerjap-ngerjap cepat karena ia mulai tak melihat apa-apa dan seketika semuanya berubah gelap. Terselip di antara kesadarannya, New bisa merasa ada tangan kokoh yang meraih lengannya, serta mendengar suara yang menyebut namanya— dengan penuh kecemasan.

*

New menggeliat lemah, kelopak matanya membuka perlahan. Ia tak tahu sudah berapa lama tak sadarkan diri. Setelah kesadarannya pulih sempurna, sosok yang pertama ia dapati adalah Arm.

R E K A M (Taynew)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang