pelindung yang tak punya tameng

69 17 1
                                    

"maaf...."

cherry memukul kepala tara pelan, sudah ketiga kalinya laki-laki itu mengucapkan kata yang sama sambil menatap layar ponsel cherry yang retak.

"diem bisa gak?"

tara jadi merinding sendiri kalau sudah liat ekspresi cherry yang seram begini, matanya terlihat marah dan satu-satunya hal yang bisa tara ucapkan hanya permohonan maaf.

"nanti lcdnya gue ganti deh, maaf."

"lo paham gak sih, tar?"

cherry mendorong kursinya menjauh, lalu ia berdiri membelakangi tara.

tara menarik rambutnya sendiri, ia tak menyangka ujungnya akan seperti ini. tapi tara masih juga denial, ia tak mau jadi yang disalahkan karena dirinya memang tidak salah.

"yaudah, ayo sekarang ke ibox. gue ganti full."

laki-laki itu baru saja ingin bangkit dari kursinya juga, tapi cherry yang tiba-tiba membalikan badan dan menyuruhnya duduk kembali membuat tara mengurungkan niatnya.

"lo ngaca gak sih? lo liat gak muka lo seberapa parah? lo gue ajak ke dokter gak mau, gue suruh istirahat di rumah gak mau, dan lo malah mentingin handphone gue?"

cherry menarik nafasnya dalam, lalu ia kembali duduk.

tangannya mulai bekerja lagi, ia oleskan luka di bibir tara yang belum selesai diobati karena telanjur terbawa emosi.

"ya, maa--"

"lo diem. jangan ngomong lagi."

tara menatap gadis berambut kecoklatan miliknya, jari-jari panjangnya dengan telaten membersihkan bekas luka yang baru didapati tiga puluh menit yang lalu.

sebuah hansaplast bergambar ditempelkan di dahi untuk penutup luka yang terakhir.

cherry mengumpulkan sisa-sisa kapas yang terkontaminasi dan membuangnya ke tempat sampah kecil dekat taman tersebut.

"cher..."

"gue ga paham apa sih yang ada di pikiran lo tadi?"

"gue gak suka lo di catcalling."

tatapannya jatuh ke arah tanah, bahkan tara tak berani menatap mata cherry sekarang.

"berantem gak nyelesain masalah, tar. malah lo yang luka sekarang."

"lo gak denger tadi mereka ngomong apa? dan lo nyuruh gue diem?"

"kita bisa tutup telinga, gak perlu diladenin."

"gue enggak bisa."

                                  •
"liat tuh cewe, cakep banget dah. mana badannya bagus."

"hai cantik, mau kemana? sendirian aja nih?"

cherry diam, ia hanya fokus berjalan ke depan dan berharap tara tak mendengarnya.

seperti pada kebiasaan mereka, cherry selalu berjalan duluan dan tara yang sedang membalas pesan ajun tak terlalu memerhatikan jalanan saat itu.

"sombong amat sih cantik, sini dong gabung sama kita."

langkahnya cherry percepat, ia tak nyaman tapi juga tak berani bilang tara.

"ye cantik-cantik sih sok cuek, gue pacari--"

tara yang baru saja memasukan ponselnya sadar perubahan tingkah cherry karena sekumpulan anak laki-laki yang sedang duduk di trotoar jalan.

"gak usah begitu, gak sopan."

tangan cherry buru-buru ia genggam, tara bisa merasakannya bahwa gadis itu gemetar sekarang.

"oh udah ada pawangnya nih ye, cewe lo cakep amat bang bagi-bagi lah."

"lo milih mati nih?"

dan tara tak bisa menahannya saat itu juga.

                                  •

"elo gak bisa berantem. gak usah sok-sok an nonjok duluan."

gadisnya masih tak paham mengapa tara begitu bodoh menyerang duluan padahal endingnya dia yang kalah.

"gapapa. mereka juga lebam tadi."

"lo tuh ya! pikirin diri sendiri. ngelakuin hal kayak tadi gak bikin lo keliatan jagoan."

"lo juga."

"apa?!"

"pikirin diri lo sendiri."

akui saja bahwa tara memang bodoh menyatakan perang padahal ia saja tak bisa memegang pedang.

tara juga tak ingin dipuji-puji sebagai lelaki keren yang berhasil mengorbankan wajahnya untuk dijadikan samsak tinju.

tapi ia hanya ingin gadis itu paham bahwa ia baik-baik saja, mau diadu dengan sepuluh laki-laki berotot besar juga akan tara lawan.

asal cherry tak terluka, ia akan baik-baik saja.

bukan hanya hujan yang bisa jatuh ke bumi, taeryeong.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang