Hai, jangan lupa voment!
__________
Hai, kenalin aku Eri. Aku sedih saat tau Mama dibunuh, siapa yang tidak sedih saat tau keluarga kita satu-satunya dibunuh.
Rasanya aku ingin membalaskan dendamku, tapi aku tak punya nyali dan kekuatan seperti itu.
Dulu dan sekarang aku masih jadi seorang anak dari keluarga miskin. Jika aku ingin menghancurkan seorang brengsek seperti Davian.
Menyebut namanya saja aku sudah malas, apalagi memanggil dia dengan sebutan Ayah.
Aku di buang di pinggir laut oleh bodyguard si brengsek itu. Aku bertemu lagi dengan seorang yang tak kalah menyebalkannya dengan Davian Davian itu.
Namanya aku tak tau. Ia tak memberi tau namanya siapa, lagi pula apa ia perlu tau namanya? Rasanya aku ingin kabur dari sini, tapi tak bisa.
Entah apa yang membuatku tunduk. Ia membabi buta diriku dengan pukulan dan tendangan ketika mereka mengetahui aku pura-pura tidur.
Setelah itu mereka menyeretku pergi ke markas mereka yang tak jauh dari tempatku dibuang. Di sana banyak sekali anak-anak berbadan besar seperti anak yang sering disebut boss itu.
Mereka membanting tubuhku di lantai, aku hanya bisa meringis menahan sakit yang lagi dan lagi datang menimpa.
Anak laki-laki itu menatapku sangat tak suka. Mungkin benci. Tiba-tiba ia memberiku perintah untuk kerja, memangnya aku punya modal apa? Ia tak memberikan modal dengan seenak jidat menyuruhku untuk kerja.
Ini namanya pemerasan dan bullying. Aku tak paham. Mengapa rakyat indonesia senang sekali melakukan hal kejam seperti ini.
"Mulai sekarang, lo yang harus kerja untuk biayain makan kita! Untuk makan lo sendiri bisa di cari kalo udah dapet uang untuk makan kita!" titah Pram mutlak.
"Kenapa harus saya?" Aku bingung sekali dengan perintahnya. Bagaimana bisa menyuruh orang yang baru saja terlantar. Tak habis pikir dengan jalan pikirannya.
BRAKK
Ia menggebrak meja yang membuatku jelas tersentak kaget. Perutku ditendang. Bagaikan ribuan pisau langsung menerkam perutku, walaupun aku tak tau rasanya ditikam menggunakan pisau. Ya, itu hanya kalimat kiasan saja.
Perutku keram, nyeri, badanku rasanya tak sanggup untuk bergerak. Tapi tetap saja dia tak punya belas kasih. Mungkin sudah hilang.
Aku perlahan bangun dan pergi ke lampu merah untuk menjual tisue murah yang seharga lima ribu. Aku tau hasilnya tidak akan cukup untuk setoran ke anak laki-laki itu.
Tapi biarlah di coba dulu saja.
Cuaca hari ini panas terik yang membuat keringatmu keluar lebih banyak daripada biasanya.
..........
Jika pagi Eri menjual tisu, maka sore ia akan mengamen di lampu merah. Suara Eri terbilang bagus di kalangan seusianya.
Eri membawa kurang lebih dua puluh buah tisu untuk di jual, karena ia belum punya uang untuk membuka ruko atau menyewa tempat maka ia akan mengerjakannya di lampu merah.
Ia menawarkan dari satu mobil ke mobil yang lain. Wajah Eri juga termasuk cantik di kalangan seusianya membuat banyak yang membeli tisu yang Eri jual.
"Ini tisunya berapa, de?" Tanya salah satu laki laki dewasa.
Eri menengok ke arahnya dan sempat kaget sebentar lalu menyamarkan raut kagetnya.
"Lima ribu, Pak." Jawab Eri.
Laki laki itu adalah Bagas. Ia yang kalian tau itu Bagas. Bagas memberikan uang kepada Eri seratus ribu dan mengambil satu tisu dari tangan Eri.
"Om ambil satu, ya, sayang." Bagas mengelus puncak kepala Eri dengan lembut. Eri merasakan hawa panas dan nyaman saat bersama Bagas saat ini.
"Makasih, Om. Kembaliannya ... " ucapan Eri terpotong oleh ucapan Bagas.
"Ga perlu, Sayang. Kalo ada apa-apa telpon aja, ya."
"Tapi, Eri ga tau nomornya,"
"Ada di kantong kamu, coba cek!"
Eri mengecek kantongnya dan melihat nama dan nomor ponsel Bagas. Eri terlihat kebingungan mengapa nomor Omnya ada di situ.
"Itu Mama mu yang kasih. Itu pun di suruh sama Om." Eri hanya mengangguk lalu menjauhi mobil Bagas dan kembali ke trotoar.
Alasannya simpel, karena lampu merah sudah berwarna kuning, dan kebanyakan mobil sudah pada bergerak.
Bagas menghela napas panjang. Karena ia tenang sudah menemukan Eri di sini.
Bagas merasa bersalah dengan Nana-Ibu dari Eri. Ia tau Eri pasti merasa sedih karena sendirian.
Bagas merasa ia belum waktunya untuk mengambil Eri, mungkin bulan depan baru ia adopsi.
Ia berjanji mengurus berkas berkas dan keperluan Eri secepatnya. Agar anaknya pun mempunyai adik yang tak jauh dari umurnya.
-----------
Bagas pun sampai di rumah dengan keadaan tersenyum. Istrinya-Sunny menyambutnya dengan hangat. Begitu pun dengan anak pertamanya Adit.
"Bahagia sekali, Mas." Bagas hanya menanggapinya dengan tersenyum. Adit pun mengajak Bagas untuk bermain mobil bersamanya.
Bagas mengangguk saja, ia merindukan anaknya. Ah, mungkin begini lah jika menjadi seorang ayah sekarang.
Ketika mereka berdua sedang bermain Bagas bertanya kepada Adit, "apakah abang mau mempunyai adik seperti Eri?"
"Lili?" Bagas mengangguk saat anaknya tidak menjawabnya melainkan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan baru lainnya.
"Papa ketemu Eri tadi siang di jalan. Abang mau ketemu Eri?" Mata Adit melotot mendengarnya. Ia sangat merindukan Eri dan ingin bertemu dengannya.
"Mau." Bagas hanya tertawa saja ketika mendengarnya. Ia sudah tau dari lama bahwa Adit-anaknua merindukan Eri.
Mereka pun melanjutkan kembali bermain mobilnya, tiba tiba saja dengan spontan Adit teriak dengan kencang dan lantang. "Didit mau punya adik kaya Lili?!"
Sunny yang ada di dapur menghangatkan makanan pun terlonjak kaget, lalu tersenyum mendengarnya.
Adit itu akrab banget sama Eri. Jadi, ucapan itu bukan sekedar ucapan, tapi juga tersirat makna besar bagi Adit di dalam hatinya.
Ia memang menyukai Eri, tapi tak ia pungkiri bahwa Ia hanya menyukai Eri sebatas adik kecil lucu miliknya yang tidak boleh diberikan kepada orang lain.
Ia sangat ingin menjaga Eri dari segi apapun. Terutama dari segi kenyamanan dan keamanan. Ah, memikirnya membuat detak jantung Adit menjadi berdisko siang ini.
"Abang mau tidur siang?" Sunny datang membawakan Bagas sepotong kue dan cemilan lainnya.
Ia juga membawa susu untuk Adit dan teh untuk Bagas. Adit menjawab dengan gelengan kepala saja. Sunny hanya tersenyum dan berkata, "minum susunya, bang. Biar cepet tinggi."
Mata Adit berbinar-binar mendengarnya. Cita-citanya menjadi kapten basket dan juga ketua geng motor.
Dan untuk bermain basket dia butuh tubuh yang tinggi untuk melompat agar bola yang Ia lempar bisa masuk ke dalam ring.
Setelah habis satu gelas susu, mata Adit menjadi sayup-sayup. Sebenarnya Adit memang mengantuk. Tapi, Ia rindu bermain dengan ayahnya jadi Ia berusaha untuk tidak tertidur.
Sayang seribu sayang, tubuhnya tidak mendukung. Akhirnya Ia tertidur di atas karpet berbulu dengan pulas.
____________
23-06-21
By: kenes_i7Yeay...
Selesai juga akhirnya chapter ini..
Gimana ceritanya? Masih nyambung ga? Nyambung nyambungin aja lah ya!Doain ya gais semoga author bisa upload minimal seminggu sekali
See you di chapter selanjutnya🤗

KAMU SEDANG MEMBACA
Fin(e) [On Going]
Roman pour Adolescents[On going] [Update sesuai mood] 17+ Fungsi kehidupan itu hanya dua. Pertama, membuat orang lain tersiksa Kedua, membuat orang lain bahagia Aku jelas ada di nomor pertama. ~Erina Note: ● ini kisah anak yang memiliki trauma dalam hidup. ● author j...