Baru beberapa langkah keluar dari kamarnya Doyoung sudah menabrak-lebih tepatnya ditabrak-oleh seorang pemuda yang tampak lebih kecil darinya. Beruntung ia masih berdiri, hanya beberapa kertas dari berkasnya jatuh. Lain halnya dengan pemuda yang kini terduduk di lantai.
"KALAU JALAN PAKAI MA-oh? Doy?"
Bentakan setengah-setengah dari pemuda itu membuat Doyoung mendengus. Tanpa banyak bicara ia mengulurkan tangannya, isyarat agar pemuda itu bangkit dengan bantuannya. Uluran tangan itu diterima olehnya.
"Kau beruntung menabrakku, Ten. Bagaimana kalau orang lain yang kau tabrak?"
"Aku tak peduli. Sekarang aku hanya ingin cepat-cepat kembali ke kamar setelah jam magangku selesai. Tak tahan rasanya duduk diam selama hampir tujuh jam hanya demi menerima panggilan telepon," Ia bangkit dan membersihkan celananya dari debu. "Terlebih ketika kau duduk berseberangan dengan radio rusak. Sudah bokong kebas, telinga pun jadi panas."
Tanpa perlu dijelaskan Doyoung sudah cukup tahu perihal teman magang Ten yang terkenal kelewat cerewet itu. Bayangkan saja, segala macam hal dapat dijadikannya sebagai topik untuk membuka obrolan panjang yang sepertinya tak akan berhenti jika tidak ada orang yang datang untuk meminta bantuannya. Tak jarang pembicaraan tersebut bersambung begitu ia selesai memberikan bantuan.
Padahal dirinya sendiri tak kalah ceriwis jika dibandingkan dengan Yunghyeong.
"Omong-omong soal telepon, Professor Jung memajukan jadwalmu tadi. Sebentar biar aku cek notesku dulu,"
Jemarinya dengan cekatan membuat pola mantra sederhana pada telapak tangan. Sebuah pentagram memancarkan sinar biru yang redup pada telapak tangannya. Tak lama kemudian muncul tulisan menyerupai cakar ayam yang mengambang dari mantra itu. Kedua matanya menelusuri catatan-catatan tersebut; menggulirkannya seperti sebuah catatan pada gawai canggih. Ia menghentikan notesnya pada bagian tengah, lantas membaca beberapa baris yang tertera disana.
"Dari jam 7 malam dimajukan ke.... jam 3. Satu setengah jam lagi. Masih lumayan lama,"
Informasi terbaru dari Ten membuat Doyoung mengerutkan keningnya bingung. Terlebih perubahan jadwal temu dengan Professor Jung yang dirubah itu. kerutan pada keningnya sedikit mendalam saat ia berpikir.
Kini fokus Ten berpindah pada berkas-berkas yang dibawa Doyoung. Perlahan ia berjongkok, mengambil beberapa helai kertas yang berserakan di lantai. Ia menyodorkan kertas yang sudah dirapihkan pada Doyoung, mendapatkan ucapan terima kasih darinya.
"Kau mau ke mana jam segini? Kantor sedang tutup,"
Tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa Hendery tidak memberikan detail jam makan kapan saat memberitahunya tadi di kamar. Hal tersebut membuat Doyoung mengerang pelan sambil mengusap wajahnya.
Tindakannya menarik perhatian Ten yang memang sedari tadi mengamatinya.
"Dery tak memberitahumu?"
Doyoung hanya sanggup mengangguk. setengah lega karena tidak terlambat untuk menghadiri pertemuan dengan Professor Jung, setengah lagi menahan kesal karena setelah ini ia harus menendang bocah bermarga Huang itu keluar dari kamarnya akibat tidak memberinya informasi lengkap perihal pertemuannya ini.
Kekesalannya bertambah ketika mendengar Ten mendengus geli. Pemuda itu melepas kekehan saat menyadari tatapan jengkel Doyoung. Kekehan itu perlahan berubah menjadi tawaan khas seorang Ten, bahkan kini ia tampak terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
"Tak kusangka si Dery masih senang membuatmu panik,-oh astaga perutku sakit hanya membayangkan betapa kalang-kabutnya dirimu tadi,"
Doyoung meniup poninya dengan jengkel. Matanya memicing tak suka pada Ten yang sedang menahan tawanya. Yang lebih pendek memberikan cengiran dengan ekspresi tanpa dosanya setelah berhasil menghentikan tawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon a Bunny [JaeDo]
FantasyJAEDO | BXB | NCT | FANTASY | AU Doyoung tidak lagi memiliki pilihan selain tinggal di akademi setelah melewati beberapa kejadian yang hampir merenggut nyawanya. Awalnya ia mengira akan menjalani keseharian yang membosankan sendiri dengan tenang. Na...