"Kau, Tuan Pangeran, jangan lakukan hal bodoh lagi,"
Chanhee menunjuk Hendery dengan pisau sihirnya. Punggung mereka saling bersinggungan, keempatnya dalam posisi siaga akan serangan makhluk astral lain. Yang ditunjuk hanya dapat membuang napas gusar.
Memang, mereka berada dalam keadaan seperti ini disebabkan olehnya yang teledor melepaskan cakram sihirnya secara asal. Tak disangka piringan kekuningan itu melukai induk Krano; makhluk astral yang berasal dari cahaya. Sebenarnya Krano tidak begitu mengancam keselamatan mereka dibandingkan Solus, namun anak dari Krano cukup mengerikan jika sudah bertarung. Mereka hanya akan meyerang apabila induknya terluka, seperti situasi yang sedang dihadapi empat orang ini.
Petir tiba-tiba menyambar ke arah mereka, membakar sebidang tanah hingga hangus dengan bekas hitam yang membentuk sebuah persegi simetris. Beruntung mereka sempat menghindar, saling berpencar untuk mengurangi efektifitas serangan Krano.
Anak Krano bergeming tampak seperti berpikir meski makhluk astral tidak memiliki otak. Lantas mengarahkan tanduknya ke arah Doyoung yang sedang berusaha memanjat pohon, salah satu target terdekat. Chanhee yang menyadari arah serangan Krano segera melempar pisaunya pada makhluk itu dan menusuknya tepat di punggung.
Makhluk itu menoleh pada Chanhee, menampilkan topeng yang merangkap menjadi wajahnya. Butuh beberapa detik sebelum sambaran petir selanjutnya membakar pohon dibelakang Chanhee, membuat bekas persegi yang simetris. Anakan Krano memiringkan kepalanya, menatap bingung pada pohon yang baru saja ia bakar. Tak lama kemudian ia meringkik ketika Chanhee dengan cepat menarik pisau yang tertancap pada punggungnya hingga mengoyak dagingnya sejajar arah tulang punggungnya. Pemuda berambut biru itu melompat menjauhi makhluk itu setelah mencabut pisaunya.
Cairan pucat menetes dari bekas luka pada badannya. Krano muda itu menunduk, terdengar suara ringkikan yang bercampur rintihan tak jelas darinya. Keempat kakinya mengambil beberapa langkah maju, hendak kembali menyerang dengan sambaran petir. Energi khas milik Hutan Dimensi tampak berkumpul pada ujung tanduknya, namun kembali melebur ke udara sebab makhluk astral itu tersentak begitu mendengar pekikan dari induknya. Ia menoleh pada sumber suara, tampak mempertimbangkan langkah selanjutnya. Lalu melangkah mundur dan melompat menjauhi Chanhee yang masih berdiri dengan pisau berlumuran darah Krano.
Pemuda itu menghela napas lega, pisau yang ada dalam genggamannya turut melebur. Atensinya kini tertuju pada tiga penyihir yang baru ia selamatkan-lagi. Matanya memicing pada sosok Hendery yang berjalan ke arahnya dari balik semak-semak, beberapa daun menempel pada surai dan pakaiannya. Yang ditatap menampilkan cengiran dengan wajah tanpa dosanya pada Chanhee, meski pemuda manis itu tampak siap membabat habis dirinya.
"Terima kasih, Tuan Choi," ujar Doyoung.
Pemuda itu menoleh ke sisinya, dimana Doyoung berdiri sambil membersihkan celananya. Jisoo mendekati keduanya, membawa tiga kantung kulit yang sudah terisi oleh batuan energi. Terdapat aura kemerahan yang berpendar lemah dari arah mereka, kebanyakan berasal dari Doyoung.
Tak salah lagi, aura sihir yang beberapa waktu lalu ia lihat memang milik pemuda Kim itu.
"Panggil aku Chanhee. Rasanya aku tua sekali dipanggil dengan sebutan Tuan," Ujarnya, menerima kantung dari Jisoo disusul dengan ucapan terima kasih yang pelan.
"Sepertinya aku lebih muda dari kalian berdua, tapi mungkin tidak jika dibandingkan dengan Tuan Pangeran disana," jarinya mengarah pada Hendery yang baru saja berjalan ke arah mereka.
"Ada apa denganku?"
"Kau berhutang janji untuk menemaniku ke kota, itu yang terjadi,"
"Astaga, tak bisakah kau merubah warnanya sendiri? Dengan sihirmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon a Bunny [JaeDo]
FantasyJAEDO | BXB | NCT | FANTASY | AU Doyoung tidak lagi memiliki pilihan selain tinggal di akademi setelah melewati beberapa kejadian yang hampir merenggut nyawanya. Awalnya ia mengira akan menjalani keseharian yang membosankan sendiri dengan tenang. Na...