Semburat jingga dari tunggang gunung terpampang amat jelas di langit yang luas. Tempat yang sesuai untuk menikmati senja, tidak lain ialah pantai. Sinar oranye di penghujung cakrawala menghasilkan sebuah bayangan cantik di dalam air. Tidak heran jika banyak orang yang terpesona akan keelokannya.
Salah satu pengunjung pantai yang sedang menikmati hangatnya petang adalah Ashita Dri Sandya, gadis berusia enam belas tahun pecinta senja ini tidak pernah absen untuk menghabiskan waktunya memandangi pesona langit sore.
Ashita memandang sedikit ke atas tepat ke arah matahari mulai menenggelamkan dirinya. Ia tersenyum. Senja begitu memanjakan mata. Selain itu, senja juga sebagai penghilang penat bagi Ashita. Ia duduk di hamparan pasir yang luar sembari menikmati semilir angin yang berembus membangunkan bulu kuduknya.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh dari Ashita, seorang pemuda dengan menggenggam benda pipih, memandang Ashita dengan senyuman manisnya. Meski dari arah belakang, Ashita tampak cantik. Pemandangan Ashita yang menengadahkan kepala ke arah cakrawala menjadi suatu hal yang menarik bagi pemuda itu.
Ia mengarahkan kamera ponsel ke arah Ashita yang belum menyadari kehadirannya. Setelah mendapat posisi yang menurutnya bagus, pemuda itu memotret Ashita.
Cekrek!
Ashita tersentak, gendang telinganya menangkap suara ponsel yang membidik gambar dari arah belakangnya. Menoleh ke belakang, Ashita mendapati seorang pemuda dengan wajah malunya menyunggingkan bibir ke arah Ashita. Pemuda itu menghampiri Ashita yang sudah berdiri dari duduknya.
"Maaf, gue sengaja moto lo yang fokus sama senja. Ini hasilnya." Pemuda itu menyodorkan ponselnya ke arah Ashita.
Gambar itu begitu indah. Langit jingga dengan Ashita yang seakan menjadi bayangan di sana membuat kesan estetika pada foto tersebut. Sepertinya pemuda itu sangat berbakat dalam bidang fotografi.
"Aku ... boleh minta foto itu?" pinta Ashita sedikit ragu.
Pemuda itu tertawa kecil. "Boleh. Oh iya, nama gue Reano Alfindra, lo boleh panggil gue Alfin."
"Ashita," jawab Ashita lalu menjabat tangan Alfin.
Senyuman Alfin begitu manis bagi Ashita sehingga ia tidak mengalihkan pandangannya dari wajah tampan milik Alfin. Orang yang baru saja ia temui membuat hati Ashita menghangat hingga merasakan hal aneh yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Mereka mengobrol hingga senja tergantikan oleh malam. Banyak lampu berkelap-kelip dan kedai yang masih buka di bibir pantai. Ashita berniat untuk pulang karena tidak mau keluarganya khawatir akan dirinya. Lagi pula, angin malam tidak baik bagi kesehatan. Maka dari itu, ia tidak ingin berlama-lama lagi di sana.
"Ashita mau pulang dulu, Kak. Permisi," pamit Ashita lalu beranjak pergi meninggalkan Alfin.
Alfin memandang kepergian Ashita dengan senyumannya. Wajah cantik Ashita terbayang-bayang di pikirannya. Sepertinya Ashita adalah gadis yang baik. Orang yang menjadi kekasih perempuan seperti Ashita pasti sangat beruntung, pikirnya.
☕︎☕︎☕︎
Rumah sederhana yang tidak sempit dan tidak juga besar menjadi tempat tinggal Ashita selama ini. Walaupun begitu, halaman rumah itu sangat asri hingga dapat menyejukkan mata yang memandang. Keluarga yang harmonis juga ia dapatkan. Meski terkadang kesulitan ekonomi kerap dialami oleh keluarga Ashita, tetapi kebersamaan mereka membuat semua beban terasa ringan.
Ashita mengetuk pintu beberapa kali sebelum memasuki rumahnya. Sepi, itulah yang dapat mewakili kondisi di dalam rumahnya. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam, tidak mungkin jika semua orang sudah tertidur. Di dalam rumah sederhana itu diisi oleh empat orang: orang tuanya, Ashita, dan adik laki-lakinya.
"Ashita pulang!" serunya.
Dari arah kamar, Sinta—ibunda Ashita— menghampirinya dengan tergesa. Ashita heran, mengapa raut wajah sang ibu terlihat sangat khawatir? Sepertinya anggota keluarganya tidak ada yang sakit atau apa pun.
"Kamu dari mana saja, Nak? Mengapa pulang sampai malam seperti ini?"
Ashita terkekeh. "Ashita dari pantai, Ma. Bukannya udah biasa kalau aku pulang malem? Mama gak usah khawatir, Ashita bisa jaga diri, kok," ucap Ashita, berupaya meyakinkan sang ibu.
Sekuat-kuatnya seorang wanita, pasti memiliki titik lemah. Namun, hal itu bukan berarti wanita diartikan tidak berdaya. Hanya saja, pasti ada satu posisi pada wanita yang membuat dirinya berada pada titik terendah dan tak bisa berbuat apa pun karena pikirannya yang kalut.
Sinta tersenyum ke arah putri sulungnya. Ia tahu, Ashita memang gadis yang mandiri. Namun, semua orang yang hidup di dunia ini adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan orang lain. Maka dari itu, semandiri dan sekuat apa pun Ashita, Sinta tetap mengkhawatirkan putrinya.
"Gak ada orang tua yang gak khawatir sama anaknya. Ya udah, sekarang kamu bersih-bersih. Sebentar lagi papa sama Chandra akan pulang, mereka sedang membeli makanan," titah Sinta pada anak pertamanya.
Dengan semangat, Ashita mengangguk lalu berjalan menuju kamarnya. Ia membersihkan tubuhnya yang sudah kusam karena seharian beraktivitas di luar rumah. Seketika, terlintas bayangan Alfin dengan senyuman yang begitu menawan. Wajah tampan Alfin seperti candu bagi Ashita saat ini.
"Astaga, kenapa jadi mikirin dia, sih!" rutuknya sembari mengetuk-ngetukkan tangan di kepalanya.
Bibir Ashita menahan senyuman kala mengingat Alfin. Pemuda yang menurutnya sangat asyik dan supel kepada semua orang sukses membuatnya jatuh dalam pesona pemuda itu. Ashita mengagumi Alfin, hanya sebatas kagum, tidak lebih.
Setelah selesai membersihkan badannya, Ashita kembali menuju ruang makan untuk makan malam bersama keluarganya. Rumah yang tidak terlalu besar ini membuatnya senang untuk menuju dari ruangan satu ke ruangan yang lain.
Di meja makan sudah duduk semua anggota keluarganya. Suara tawa menyambut kedatangan Ashita. Begitu harmonisnya keluarga ini, tak ada aura kesedihan yang tercipta di sana.
"Nah, udah lengkap. Ayo, makan!"
Mereka menikmati makanan apa adanya dengan penuh rasa syukur. Tidak ada yang mengeluh dengan nikmat yang telah Tuhan berikan kepada mereka. Mereka sadar, mengeluh tidak akan mengubah keadaan.
Seusai makan, mereka berempat berkumpul di ruang tamu beralaskan tikar, duduk melingkar sembari bercerita kisah sehari-hari antara satu sama lain. Tak ada mereka sembunyikan. Rahasia? Tidak ada, saling terbuka adalah salah satu kunci keharmonisan.
"Ashita, Chandra, besok kalian udah masuk semester dua. Tetap tingkatkan prestasi kalian. Jangan mikir pacaran dulu. Fokus sama sekolah," titah sang ayah dengan tegas.
"Chandra enggak ada cewek yang deket, Pa. Palingan Kak Shita yang lagi deket sama cowok."
Dengan sigap, Ashita memukul lengan adik yang sangat ia sayangi. Bisa-bisanya ia berbicara seperti itu di depan orang tuanya. Padahal, Chandra sendiri tahu bahwa Ashita akan fokus pada sekolahnya karena ia memiliki keinginan untuk berkuliah di luar kota kelahirannya.
"Enggak, Pa! Ashita lagi jomblo tau. Jomblo happy, nih!"
"Bohong! Tadi, kan, Kakak ke pantai. Pasti ketemu sama cowok, terus deket, terus pacaran, eh nikah muda," kelakar Chandra membuat yang lain tertawa, tetapi mendapat tatapan tajam dari Ashita.
"Jangan ngadi-ngadi kamu, tabok, nih!" Ashita hampir melayangkan kembali tangannya kepada Chandra.
"Sudah, sudah. Karena besok hari pertama kalian sekolah, lebih baik kalian tidur. Jangan nonton drama buat Ashita dan jangan main _game_ buat Chandra. Kalau kesiangan, nanti bakal dapat hukuman."
"Siap, Ma!"
Candra dan Ashita bergegas menuju kamar masing-masing. Letaknya bersebelahan. Kamar mereka tidak terlalu besar, tetapi nyaman. Tidak masalah juga bagi mereka berada di tempat yang sempit, asalkan selalu bersama dalam keadaan suka maupun duka.
Sinta sangat bersyukur memiliki dua anak yang penurut dan rajin. Permintaan dari kedua anaknya juga tidak pernah membuat Sinta dan suaminya merasa terbebani. Mereka juga tidak menuntut macam-macam kepada kedua anaknya. Hal yang terpenting adalah sebuah kebersamaan.
![](https://img.wattpad.com/cover/266924909-288-k992195.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilah Semesta
Teen FictionDi bawah langit senja Ashita bertemu dengan pemuda tampan yang sengaja memotretnya. Pemuda yang ahli dalam bidang fotografi itu mampu memikat mata dan hatinya. Senyumannya bagai candu bagi Ashita. Tampan, tetapi sayang tidak dapat ia miliki. Pemuda...