Kenangan itu bagai adegan film yang berputar di pikirannya. Adegan yang terputus-putus, tidak menyatu lagi karena lupa. Kadang manusia hanya ingat intinya saja, sementara detailnya terurai sedikit demi sedikit, samar lalu hilang sama sekali.Begitu pula dengan ingatan milik Felicia tentang yang lalu. Dia hanya tahu, semuanya telah usai. Tidak ada yang ia anggap penting karena ingatan itu memilih pergi dan lenyap.
Hanya satu atau dua adegan terpenting. Pertama ketika mereka pertama kali bertemu, kedua perihal pertemanan mereka, dan ketiga perpisahan.
"Jadi Bara," Felicia yang kala itu duduk di taman rumah sakit yang sudah disulap menjadi kebun mawar putih dan merah oleh Sambara pun mencoba menyimpulkan. "Kamu bakal pulang dari rumah sakit dua hari lagi," sambungnya murung.
Sambara yang awalnya sibuk merangkai bunga langsung mendongakan kepala agar bisa menatap Felicianya. Ada raut duka dalam ekspresi Felicia.
"Jangan sedih. Kita mungkin bisa bertemu lagi di Jakarta," jelasnya.
"Bagaimana cara menemukan kamu? Jakarta itu luas, Bara."
"Kamu hanya perlu mendatangi kebun mawar putih paling indah di Jakarta. Aku akan di sana, menunggu kamu."
Felicia tertawa. "Kenapa tidak membuatnya lebih mudah? Kita bisa bertukar email atau berikan nomor ponsel yang kamu gunakan di Indonesia!"
Jari-jari Sambara membelai puncak kepala Felicia. "Terdengar bagus, tapi akan ada banyak orang yang mengganggumu jika terlihat bersamaku di Jakarta."
"Kita bisa bertingkah sepeti teman," Felicia mengajukan penawaran.
Tangan Sambara berada di pipi Felicia, mendekati lawan bicaranya seperti hendak memeluknya. Gadis itu terhenyak sebentar karena dinginnya tangan Bara, ia memejamkan mata. Halusnya Bara menelusuri dirinya dan wangi pria ini menyelimutinya, Felicia suka. Merasa nyaman serta aman.
"Tapi kita bukan teman," ungkap Bara sambil tersenyum. Dia mengecup bibir Felicia singkat.
Jika dulu logika Sambara tidak membiarkan dirinya terlalu dekat dengan orang lain, kini justru logika dan nalurinya berkolaborasi untuk menyukai satu titik. Titik yang paling terang. Satu tujuan yang membuatnya enggan menutup mata lagi.
"Apa aku bisa menjadi alasan kamu untuk tidak mencoba menyakiti dirimu sendiri, Bara?" Tanya Felicia.
Sambara termenung, enggan langsung menjawab. Bukan dia yang hendak menyakiti dirinya sendiri, tapi orang-orang di sekitarnya. Lantas menjadikan Felicia terlalu dekat padanya hanya akan membuat gadis itu menjadi sasaran lain.
Selama mereka bersama sudah beberapa kali dia menyadari ada orang yang mengikuti, entah apa yang direncanakan. Menurut pengalaman Sambara, orang-orang itu menunggu celah untuk dapat menyerang. Mereka bersikap sedikit lunak, Sambara mengakui itu. Tidak ada kekerasan selama dirinya bersama Felicia. Namun, Sambara tidak dapat menjamin sikap lunak itu berjalan selamanya.
Sambara mungkin bisa melindungi dirinya dengan baik. Namun, Felcia? Tidak.
Tidak setelah Sambara tahu siapa sahabat dekat Felicia. Tidak setelah ia tahu Ekadanta juga memburunya.
Perlindungan terbaik yang dapat Sambara berikan adalah membuat Felicia berada tetap di jarak aman. Sambara akan menjadikan kisah ini berakhir di sini. Nanti, Sambara akan mengagumi Felicianya dari jauh. Dia akan berjauhan dengan cahayanya. Lebih baik begitu daripada terangnya padam untuk selamanya.
"Tidak, semuanya akan tetap sama, Felicia. Kamu tidak menjadi alasan apa pun untukku."
Yang artinya, kamu tidak terlalu berharga untuk menjadi sesuatu yang dapat mengubah diriku, Sambara berbohong, bahkan benaknya pun demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Husband!
Mystery / ThrillerDaripada dijodohkan dengan a crazy rich grandpa, Lizzy lebih memilih menikah dengan temannya yang dia cap sebagai penyuka sesama jenis. Lizzy sih tidak masalah, toh mereka menikah dengan menjunjung tinggi win-win solutions. Tidak ada yang rugi, Liz...