21. Waktunya Maaf-Maafan

3.7K 426 163
                                    

"Dulu ya dulu. Sekarang, aku bersama kamu. Aku mencintai kamu. Apa itu kurang, Sambara?"  

-

Aku berusaha mendorong Tala yang mencumbuku. Dia menciumku tanpa jeda, melumat bibir atas dan bawahku. Tanpa sadar aku sudah mengeluarkan erangan. Tidak hanya sampai di situ, jari-jarinya menekan dadaku. Aku mendorongnya. Kakiku pun ikut melawan saat dia mulai membuka pakaianku yang masih tersisa.

Aku terus menangis dan memohon Tala untuk berhenti. Ini seperti mimpi buruk bagiku. Segala adegan menghantam kepala, meminta untuk diingat kembali. Aku tidak bisa.

Tenagaku habis hanya untuk menolaknya. Kemudian, ketika Tala mulai menyentakkan aku lebih dalam netraku kabur. Mata ini mulai tidak fokus.

“Tala jangan,” bibirku berkata sendu sebelum segalanya mulai gelap.

Aku kehilangan kesadaran.

-

Ada satu nama

Yang abadi di hati

Tapi tidak akan bisa

Untuk dimiliki
Yang terkenang, Sambara Kanaka Rawindra

Kita kembali ke masa empat tahun lalu, di mana semuanya baik-baik saja. Hanya satu orang yang tidak baik-baik saja dan itu bukan Felicia.

Empat tahun lalu dibuat lah kenangan ini. Sebuah memori tentang satu orang yang terlupakan pada masa depan. Meskipun tidak adil, dunia memang harus tetap berputar.

Kala itu Felicia berjalan-jalan di koridor rumah sakit, menunggu Tala yang katanya sedang melakukan kunjungan ke kamar pasien. Felicia masih berada di Singapura, tak keberatan menghabiskan liburannya dengan menemani Tala. Dia senang karena bisa berada di dekat Tala, meskipun si pria tampaknya biasa-biasa saja.

Tanpa sengaja, akibat langkah Felicia yang bersemangat―si gadis muda menabrak seorang pasien yang sedang berjalan membawa infus. Tidak parah kok hanya membuat Felicia oleng dan pasiennya mundur selangkah.

Sawry?” kata Felicia penuh penyesalan.

“Gak punya mata?” Pria itu berkata emosi.

Felicia melotot ke arah si pria, bukan karena tersinggung tapi laki-laki itu adalah manusia yang sama  dengan pasien luka tusuk beberapa hari lalu. Waow, dia kayaknya sudah sembuh, buktinya bisa teriak-teriak kayak toa.

“Kamu sudah oke?” Felicia justru bertanya.

Si pria bingung. “Hah?”

“Nama kamu Sambara kan?” Felicia ingat namanya. Dia mudah mengingat nama-nama orang ganteng hehehehe. Felicia mengamati Sambara dari atas sampai bawah, ia terkejut sebab Sambara membawa pisau di tangan. “Jangan bunuh diri lagi please. Kamu bakal menyusahkan Mas Tala kalau gitu,” lanjut Felicia.

Alis Sambara bertaut. “Siapa yang mau bunuh diri?”

“Nah itu bawa pisau.”

“Saya ingin membunuh bukan bunuh diri.”

Felicia mundur beberapa langkah. Oh my god! Felicia bahkan belum menyaksikan telur ayam yang diengkrami bebek peliharaannya menetas. Dia tidak dapat mati dengan rasa penasaran tinggi. Siapa tahu dengan gagasan silang induk bebek dan ayam, Felicia menciptakan spesies baru gitu kan?

Stop, stop!” Felicia mencegah Sambara untuk terus maju. “Ayamku belum menetas! Aku enggak boleh mati!” Seru Felicia.

Felicia sampai menabrak tempat sampah besi yang langsung berbunyi klontang klontang tuk tuk tuk gitu. Gadis itu sungguhan takut sementara Sambara justru tertawa.

Oh My Husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang