"Wajar sih kamu kepincut." Monik bersuara. "Dilihat dari jarak jauh aja, aura gantengnya udah tampak. Anak sultan nih pasti. Beneran, kan?"
Alih-alih merespons Monik, Shaselfa justru mencatat sesuatu di notes lalu mengambil cleansing oil demi membersihkan bibir. Tak lama, dia mencoba lipstik kelima yang berjejer di meja.
"Aku enggak pengin jomlo sendirian, tugasmu buat nyari cowok buat aku sekarang."
Ketika sedang merasakan tekstur lipstik yang kini dikenakannnya, Shaselfa menoleh. "Bukannya kamu lagi ada ngejar cowok?"
"Si rese itu! Lagi sok cool buat deketin penghuni baru di unit kami. Kegantengan amat, muka kayak remahan kuaci aja dibanggain."
Shaselfa terbahak. "Padahal kemarin-kemarin sesumbar tentang cowok itu. Seksi, tinggi, senyumnya memikat pula."
"Aku tarik lagi deh kata-kataku." Monik mengembalikan ponsel Shaselfa. Menautkan alis seraya memastikan. "Itu dicoba semua buat keperluan konten?"
Beberapa waktu lalu, Shaselfa mengecek lipstik terlaris Queen sepanjang tahun ini. Dia mengambil lima sampel, salah satunya bahkan baru saja launching dua bulan lalu. Dikumpulkan di meja kubikel, Shaselfa kemudian mencoba satu-persatu lalu mengulas kelebihan dan kekurangan lipstik tersebut. Minggu depan, ulasan itu akan diserahkan pada rapat rutin mereka.
"Oh, ini aku ulas buat diserahin ke Bu Erika. Di antara kelimanya, kamu pernah nyoba yang mana aja?"
"Udah semuanya dong!" temannya itu mengambil tube berwarna putih gading polos. "Dan ini yang paling aku sukai."
Melirik ulasan di notes, Shaselfa mengangguk. Lipstik itu menjadi salah satu kesukaannya. Tesktur yang lembut dan ringan di bibir, ditambah aroma mint menyegarkan. Minusnya, kadang membuat kering di bibir.
"Tapi aku rasa pesimis, sih." Monik memutar kursinya. "Tahulah, Bu Erika tuh kayak gimana. Pilih kasih, seperti kemarin-kemarin, idemu pasti dicuekin lagi."
Sepanjang tahun ini, kariernya mandeg. Berulang kali mengajukan ide untuk sebuah produk, kerap ditolak mentah-mentah. Entah apa yang salah darinya. "Masa gara-gara itu aku nyerah. Aku bakal terus ngajuin konsep sampai Bu Erika terima usulan aku." Lelah, Shaselfa bersantai dengan mengambil ponsel dan membuka Instagram, notifikasinya berjibun. Pasti dari apa yang pagi tadi dipostingnya.
"Udah saatnya kamu nambahin profil di bio tuh. Being a wife, soon. Atau, in relationship with, trus tag deh orangnya. Dan bisa dipastikan, enggak lama setelah itu, followernya pasti bertambah karena banyak yang stalking."
Andai Monik tahu, bukannya lagi kasmaran, Shaselfa justru masih merasa gondok. Saking kesalnya malam itu, Shaselfa langsung mengetuk pintu kamar Naomi dan mengonfrontasinya. Mereka saling melempar sindiran dan saat Papa tahu, Naomi berasalan meminta Rekza menjaga dirinya. Papa tetap menegur caranya, dan Naomi berakting mengaku salah dan berikutnya akan lebih hati-hati.
Meski Rekza datang meminta maaf, Shaselfa belum sepenuhnya melupakan kejadian itu. Dia sadar, Naomi ingin membuktikan jika Rekza bisa saja berpaling. Saudarinya itu mungkin lupa, Shaselfa pun bisa melakukan hal serupa, membuat Rekza hanya menatap padanya.
"Tapi, ngeliat sifatmu yang gengsian itu, kesemsem kayak apa pun, kamu bakal pura-pura cuek."
Diliriknya Monik, Shaselfa membalas. "Aku bukan kamu, secepat itu oleng saat ketemu cowok ganteng." Tepat setelah itu, ponselnya mendering. Begitu melihat nama Rekza terpampang di sana, segera Shaselfa mengangkatnya. Gerak refleks yang mendatangkan cemoohan dari Monik.
"Shaselfa, hai! Aku ngingetin kamu soal besok."
"Kamu masih belum mau bilang mau ngajakin aku ke mana?"
YOU ARE READING
A Shit on Our Vow
RomanceKomunikasi yang masih berjalan antara Rekza dan mantannya menjadikan Shaselfa risau. Akan sulit mewujudkan keinginannya mendapatkan suami kaya kalau Shaselfa tak bisa mengambil hati Rekza sepenuhnya. Nyatanya, Shaselfa salah, bukan mantan cowok itu...