Alih-alih menjangkau undangan Pak Takhi yang tadi dicarinya, Rekza justru menjangkau paper bag yang sebulanan ini dibiarkan tetap di atas meja. Dia melongok ke dalam, sepasang wedges untuk seseorang, tetapi batal dikirimkan.
Bukan hanya pada benda yang sedang dipegangnya, di sekeliling ruangan miliknya ada begitu banyak barang peninggalan dari mantannya. Rekza termangu untuk beberapa saat. Apakah sudah waktunya menyingkirkan hal-hal yang berkaitan dengan May?
Dia melangkah menuju rak mungil di dinding. Pot berisikan bunga kering itu akhirnya diturunkan Rekza di meja, kemudian tangannya kembali bergerak menjangkau polaroid berwarna toska. Itu milik May, ketika berkunjung ke sini, May akan menggunakannya.
Pada meja kerja, sudah terdapat berbagai barang; polaroid, pot, hiasan dinding, globe... astaga, Rekza harus menyediakan tempat besar demi menampung barang-barang tersebut. Tak lama setelah itu Rekza menaikkan pandangan, dia terkejut menyadari kamarnya agak kosong.
Alasan utama Rekza melakukan ini demi menjaga perasaan Shaselfa. Dia tidak akan mengulang kebohongannya jika sewaktu-waktu Shaselfa menemukan barang peninggalan May lagi. Dia tengah sibuk memasukkan benda ke dalam kardus sewaktu dering ponsel menghenyakkannya. Drew yang menelepon.
"Aku di luar rumahmu sekarang."
Sesingkat itu ucapan Drew, kemudian telepon terputus. Mereka memang akrab, tetapi jarang berkomunikasi dengan telepon apalagi saling mengunjungi. Pasti ada sesuatu yang aneh. Dugaannya terjawab saat pintu dibuka lebar-lebar, Drew tampak kacau, terlihat luka di tepi bibir dan pelipisnya.
"Jangan tanya." Drew melangkah seraya menyeret kaki hingga akhirnya tiba menemukan sofa dan memilih berbaring. "Ambilkan aku kompres dan minuman dingin."
Rekza tetap mau di sini, melontarkan beberapa pertanyaan. Hanya saja, Drew tampak tidak ingin diganggu. Dia mengabulkan permintaan itu, tak lupa mengambilkan kotak P3K. Semuanya diletakkan di meja. Untuk beberapa detik, Rekza menatap Drew yang dalam posisi geming dengan kelopak mata tertutup.
"Always Monday is making me crazy," tiba-tiba Drew bersuara.
"Kamu minum." Kotak P3K dijulurkan pada Drew yang bergerak untuk duduk. "Benar, kan?"
"Sedikit." Lelaki itu meringis ketika menempelkan kompres di sudut bibir. "Sialan banget. Besok Mami dan Papi berkunjung ke rumah, aku bisa habis diomeli ketika mereka melihat ini."
"Kamu masih beruntung karena enggak akan direcoki istrimu."
Dahi lelaki itu berkerut ketika menempelkan kompres di pelipis. "Itu puncak kesialan yang harus kutanggung. Pagi-pagi sekali, aku harus menjemput Rissa di Bandara. Dia sudah menyiapkan diri untuk datang di acara Pak Takhi." Kemudian, Drew melepas kompres dan menudingnya. "Shaselfa akan kamu ajak, kan? Seharian ini kamu jadi topik pembicaraan, bakalan digosip lagi kalau enggak datang berpasangan dengannya."
Memijat pelipis, Rekza mengajukan pertanyaan. "Apa sih yang kamu katakan ke orang-orang?"
Begitu tiba di lobi pagi tadi, Rekza seketika dihujani banyak pertanyaan menyangkut perempuan yang dibawanya tempo hari. Semuanya memastikan tentang fakta yang mereka dapatkan tentang Shaselfa. Dia tidak menyangka kenapa orang-orang menjadi tahu banyak hal mengenai tunangannya.
"Aku cuman memberikan nama lengkap, yang baru aku sadari, perempuan bisa sangat diandalkan mencari informasi."
Rekza berdecak seraya menggaruk kening. "Sekarang aku menyesal membiarkanmu masuk ke sini."
YOU ARE READING
A Shit on Our Vow
RomanceKomunikasi yang masih berjalan antara Rekza dan mantannya menjadikan Shaselfa risau. Akan sulit mewujudkan keinginannya mendapatkan suami kaya kalau Shaselfa tak bisa mengambil hati Rekza sepenuhnya. Nyatanya, Shaselfa salah, bukan mantan cowok itu...