Secuil Masa Lalu

269 17 5
                                    

Rekza menutup telepon, Shaselfa yang menghubunginya, mengabarkan kalau janji makan malam mereka batal karena Asma harus menemani Balin yang mendadak menghadiri sebuah acara. Dia tidak melakukan kegiatan berarti, maka Rekza yang menawarkan Shaselfa untuk datang.

Perempuan itu tidak mengizinkannya memasak tanpanya. Tidak masalah. Rekza memandang ke sekeliling, kamar ini senantiasa rapi. Dia akan beranjak menuju ruang depan, tetapi terhenti ketika tatapannya tertumbuk pada paper bag tak jauh dari nakas.

Rekza melangkah ke sana, membuka isinya demi mendapati wedges berwarna krem dengan tali-tali tipis yang saling menyilang. Ini untuk May, seseorang dari masa lalunya yang berulang tahun kemarin. Rekza menyempatkan diri ke mal, memilih langsung hadiah bagi May, begitu Rekza membawanya pulang, penyesalan menghampirinya.

Semestinya tidak ada lagi semacam hadiah ulang tahun. Demi Tuhan, komunikasi terakhir mereka adalah di saat perempuan itu mencampakkannya. Dia tersenyum, menelan kesedihan dengan kembali memasukkan benda tersebut ke dalam paper bag. Rekza lalu membawanya ke bagian terbawah dari rak bukunya.

Ini yang barangkali menyulitkan Rekza membuang segala hal mengenai perempuan itu. Apa pun jejak May masih membekas di setiap sudut rumahnya, termasuk di kamar ini. Deretan buku yang disusun berdasarkan gradasi warna, May yang mengaturnya. Pernah perempuan itu mengaturnya berdasarkan abjad, tingkat ketebalan, serta penyamaan kategori dan genre.

Dering ponsel menyentak lamunan Rekza, dia meninggalkan rak buku lantas menuju ranjang demi mengambil ponsel.

"Za, aku udah di depan, nih."

Dia meringis, dia tidak mendengarkan bunyi bel. "Sebentar."

Bayang dari sosok itu tampak dari dinding yang tirainya belum dibuka. Semakin membuat Rekza bergegas. Hal pertama yang hendak dikatakannya, mengucap maaf karena Shaselfa bisa saja menunggu terlalu lama. Namun, semuanya tertelan oleh rasa terkejut yang menyergapnya.

Shaselfa, berbalik tanpa melepas senyum sedikit pun. "Hai."

Berulang kali Rekza harus mengedipkan mata. Tidak ada yang salah dalam penglihatannya. Perempuan itu kembali mengecat rambut, dri warna kecokelatan menuju biru terang. Itu, sungguh menakjubkan, tetapi... "Rambutmu."

"Aku suka banget sama hasilnya, tapi kayaknya kamu enggak. Jelek banget, ya?"

Sama sekali bukan seperti itu. Rambut itu mau diubah ke warna apa pun, sepertinya cocok-cocok saja dengan Shaselfa. Dia melangkah, mendekati Shaselfa, hingga dia kini sadar tinggi perempuan itu sebatas dagunya.

"Mau bilang jelek aja kok susah, Za."

"Aku belum pernah mendapatimu dalam keadaan jelek, Shaselfa." Ucapnya pelan. "Tapi, aku boleh nanya, kenapa mesti dicat biru? Bukannya jelek, ini bagus, kok. Bagus banget"

"Pengin aja. Warna yang kemarin itu ngebosanin."

"Aku suka warna rambutmu lebih gelap." Pada akhirnya, dia mengungkapnya apa yang sejak kemarin ditahannya.

"Oh, gitu. Kamu mesti bersabar kalau gitu. Jadi..." Shaselfa melongok melewati bahunya. "Kita bakal di sini terus-terusan membahas warna rambut aku?"

Dia terkesiap. Segera menarik lembut Shaselfa untuk mengikutinya ke dalam. "Alat tempur apa yang kamu bawa di dalam kantung itu?"

"Penglihatanmu jeli juga." Shaselfa menyenggol, membuat Rekza berpaling sejenak. "Ini aku bawain tiramisu buat kamu."

"Tiramisu yang kamu beli di kafe itu?"

"Yup. Udah aku bilang, kan, aku payah soal dapur."

Kembali berada di dapur, Shaselfa melayangkan pujian karena semua bahan yang mereka siapkan lengkap di kitchen island. Tadinya, Rekza hendak mengambil kantung yang dipegang Shaselfa kemudian memindahkannya, tetapi perempuan itu lebih sigap. Dia meletakkannya dalam wadah besar kemudian memasukkannya ke dalam kulkas.

A Shit on Our VowWhere stories live. Discover now