Curhat

539 20 5
                                    

Hingga selesai berbicara, wajah datar Miya tidak berubah sedikit pun. Perempuan itu hanya mengetukkan ujung jari di atas meja, kemudian membuka mulut. "Kamu udah jatuh cinta, kan, sama cowok itu?"

Pertanyaan itu membuat Shaselfa terlongong-longong. Sungguh, dia tak habis pikir dengan Miya. "Aku dari tadi ngomong ini-itu, tapi tanggapan kamu justru kayak gitu. Miya, kamu pasti enggak menyimak deh."

"Ckckck, enggak nyangka ya. Cowok itu kelihatannya kalem dan peduli banget, tahu-tahunya malah bikin ilfeel." Miya memiringkan kepala. "Atau aku perlu mengumpat sampai kamu puas dengarnya?"

Shaselfa mengibaskan tangan. "Terserah." Dia memandang berbagai varian keik di atas meja yang sedari tadi belum disentuhnya. "Meski seadanya, aku harap ini bisa balikin mood aku."

"Padahal kemarin kamu sesumbar enggak bakal jatuh cintu duluan sama Rekza." Ucapan Miya membuat Shaselfa harus melengak. "Kamu yakin akan melepaskannya?"

Alih-alih menjawab, Shaselfa mengambil gelas berisi minuman dan menenggaknya. Lantas, dia melemparkan pandangan ke arah pintu masuk kafe. Di luar sana, hujan kian deras. Satu alasan yang memaksa orang enggan ke mana-mana. Di sisi lain, Shaselfa beruntung dengan kondisi kafe yang lengang, sehingga dia bisa menarik Miya untuk menemaninya yang lagi patah hati.

Dia masih membisu, tetapi pertanyaan Miya terus saja berputar di kepalanya. Apa dia yakin? "Bodoh banget aku kalau masih mempertahankannya, sementara cowok itu masih saja terus mengingat mantannya." Lagi, Shaselfa mengambil gelas dan meneguk isinya. Semata-mata bukan untuk menghilangkan dahaga, melainkan melunakkan sesuatu yang mendadak mengganjal tenggerokannya.

"Aku sih penasaran aja," Miya berkata seraya menopang dagu. "Kalau sampai pertunangan kalian batal."

Mendengar itu, Shaselfa meringis. "Besar kemungkinan hubungan dua keluarga akan merenggang." Teringat Papa, perasaan Shaselfa menjadi tidak enak. Papa mungkin akan memaklumi keputusan Shaselfa, sejak dulu beliau selalu sebijaksana itu. Namun, apakah Shaselfa sanggup membuat Papa kecewa? "Aduh, nanti gimana ya ngomongnya ke Papa," keluhnya.

"Aku sih berharap kamu juga baik-baik aja."

Keik yang sudah dipotong itu lantas urung dimasukkan ke mulut. Shaselfa berdengkus. Dia tidak akan mengelak, kondisi hatinya remuk redam. "Cuman karena dia ganteng dan mapan, bukan berarti aku bakal nangis sesesukan sepanjang waktu di kamar. Cowok lebih baik dari dia mah banyak di dunia ini."

"Memang kamu bisa move on secepat itu?" Shaselfa mengabaikan pertanyaan itu, yang membuat Miya menarik segaris senyum. "Sori. Omong-omong, pesanan kamu itu enggak perlu dibayar. Semuanya aku yang traktir."

"Enggak usah, lagian ini akhir bulan, kamu belum gajian."

"Kamu ngeborong semua menu di sini, aku sanggup bayar, kok." Ucap Miya, begitu kalem. Detik itu pula, Miya menarik kursi ke belakang kemudian bangkit. "Mumpung sepi begini, aku pamit ke belakang, pekerjaanku numpuk di sana."

"Loh?"

"Ada satu pegawai yang izin hari ini, aku yang ketiban sial buat gantiin dia."

Pengunjung kafe bertambah lagi. Dua orang perempuan yang tampak sibuk memeriksa pakaian mereka yang baru saja terkena hujan. Shaselfa memindahkan tatapannya ke balik konter. Pegawai yang tadinya bergeming, kini mulai menyibukkan diri.

Usai dua pengunjung memesan, Shaselfa bergerak ke sana, hendak membayar. Lalu, pegawai tersebut menarik senyum. "Miya udah bilang tadi, kamu enggak perlu bayar. Santai aja, dia lagi enggak kere, kok. Mbak yakin udah mau pergi? Masih hujan loh."

Shaselfa tetap beranjak pergi. Hujan atau tidak, suasana hatinya tidak serta merta akan membaik. Dia akan membiarkan perasaan sendu ini sementara, tetapi besok, dia harus bangkit.

A Shit on Our VowWhere stories live. Discover now