Kontan, Shaselfa bangkit dari kursi mendengar jawaban cowok di seberang. Sembari menggenggam erat ponsel, Shaselfa sekali lagi memastikan. "Kamu ngantor? Ini Sabtu, Za. Lagian, mukamu pasti masih nyeri."
"Aku pulang sesudah makan siang. Oh iya, kamu ada rencana ke rumah ya?"
Mama memintanya membawa makanan untuk Rekza, tetapi cowok itu sedang di kantor, mungkin masakan Mama dihabiskan saja olehnya. "Enggak, kok. Aku iseng nanya aja tadi."
Terdengar tawa pelan cowok itu. "Kalau enggak sibuk, kamu datang aja ke sini. Oh, Mama ada masakin aku sesuatu, kan?"
"Ngapain juga Mama masakin kamu. Za, pokoknya kamu pulang habis makan siang. Udah, ya, aku tutup teleponnya."
"Shaselfa," seruan itu mengurungkan niat mematikan ponsel. Dia mendengarkan. "Ada meeting sebentar lagi, mungkin sekitar pukul 11 kelar. Seperti yang aku bilang tadi, kamu datang bawain masakin itu. Dan gelangnya, jangan lupa kamu pakai."
Walau telepon sudah ditutup, Shaselfa masih tersenyum. Benda yang dimaksudkan Rekza tergeletak di meja rias. Kotak mungil tersebut berisikan gelang perak manis, yang dikelilingi berbagai bentuk seperti bintang, matahari, sabit, lalu dua bulatan dengan permata di bagian tengahnya.
Shaselfa jarang mengenakan perhiasan bahkan saat ke pesta, tetapi khusus pemberian Rekza, dia akan terus mengenakannya. Dia menengok penanda waktu, dia masih memiliki banyak waktu. Kenyataannya, Shaselfa justru menghabiskan banyak waktu untuk mematut diri dan berdandan. Padahal, ini bukan kali pertamanya berkencan dengan cowok.
Menyadari apa saja yang dilakukannya demi bertemu Rekza, Shaselfa merasakan wajahnya dialiri rasa hangat. Dia meringis dan tertawa mengejek tingkahnya. Terakhir, sebelum berangkat, Shaselfa membawa kotak berisi masakan Mama.
Setibanya di CRIMSON, Shaselfa menunggu tunangannya di mobil, lalu ingatan akan kejadian beberapa bulan lalu muncul begitu saja. Dia membujuk rekannya agar diikutkan melakukan kunjungan kerja di sini, semata-mata berharap bertemu Rekza. Keinginannya terwujud, hanya sekali lihat, Shaselfa sudah memantapkan pilihan untuk menerima perjodohan itu. Tak lama, sosok yang ditungguinya tampak. Shaselfa melepas seatbeat sembari menjangkau kotak makan.
Sapaan Rekza diabaikan, dia justru memperpendek jarak demi meniliti wajah persegi milik Rekza. Tidak ada tanda-tanda wajah itu pernah membengkak, yang ada hanya satu jerawat tak jauh dari hidung bangir tersebut. Untuk sekian detik, Shaselfa memandang bakal janggut di sekitar dagu cowok ini.
"Udah lega sekarang?" Rekza bertanya, satu tangannya meraih kotak makan yang dipegang Shaselfa. "Kamu bisa lanjut liatin aku kalau udah di dalam."
Ini Sabtu, tetapi tidak membuat suasana lobi tampak sepi, beberapa staf terlihat mengobrol atau sibuk pada laptop. Beberapa kali Rekza menyunggingkan senyum tipis, kemudian menggenggam tangannya ketika mereka berjarak.
"Aku enggak bakal hilang," Shaselfa meledek. Ketika melewati store, dia menangkap beberapa pengunjung di dalam. "Kita mau ke ruanganmu?"
"Oh, enggak. Kita makan di taman, kalau kamu penasaran dengan ruanganku, aku bisa menunjukkannya." Dia terus mengikuti langkah Rekza melewati beberapa ruangan hingga tiba di area terbuka, luasnya kira-kira seperti lapangan sepak bola berselimut rumput segar. Di bagian tepinya, berjejer meja dan kursi.
Shaselfa duduk setelah Rekza menarikkan kursi untuknya. Untuk beberapa saat, dia mengerling pada pemandangan yang didominasi tanaman hijau, sangat menyejukkan mata. Lalu, berpindah pada beberapa orang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing.
YOU ARE READING
A Shit on Our Vow
RomanceKomunikasi yang masih berjalan antara Rekza dan mantannya menjadikan Shaselfa risau. Akan sulit mewujudkan keinginannya mendapatkan suami kaya kalau Shaselfa tak bisa mengambil hati Rekza sepenuhnya. Nyatanya, Shaselfa salah, bukan mantan cowok itu...