Tidak butuh waktu yang lama untuk bertemu Shaselfa. Dia baru saja turun dari mobil, selang beberapa detik, sebelum Rekza berencana menelepon, Shaselfa muncul bersama seseorang. Keduanya tampak akrab, Shaselfa yang memutus percakapan tersebut dengan melambai, lantas berjalan mendekati Rekza. Hanya saja, senyum di wajah itu memudar.
"Hai, kamu nunggunya lama?"
Kedikan pelan dari Shaselfa, lalu perempuan itu melewatinya seraya berujar singkat. "Yuk."
Ada yang salah, Rekza meyakini itu. Dia mulai menghubungkan fakta ketika Rekza menelepon Shaselfa saat pagi dan menjelang makan siang, tak ada respons dari tunangannya itu. Barulah menjelang pulang, Shaselfa mengiriminya chat, meminta Rekza menjemputnya.
Rekza sempat terjebak macet beberapa saat dan Shaselfa tahu akan itu. Lantas, apa yang menyebabkan wajah itu terlihat keruh.
"Mau singgah─"
"Enggak usah, Za. Aku pengin cepat-cepat sampai di rumah, capek banget rasanya."
Jawaban Shaselfa memberikannya asumsi, barangkali itulah alasan teleponnya tidak diacuhkan Shaselfa. Sebenarnya, dia hendak mengajak Shaselfa singgah di tempat makan, perutnya mulai perih akibat mengabaikan makan siangnya. Lalu, dia teringat masih ada beberapa permen di dasbor, itu bisa menghalau sedikit rasa lapar.
Celakanya, kondisinya yang sedang menyetir tidak membuatnya leluasa membuka permen, dia menjulurkannya pada Shaselfa dan berujar. "Tolong bukain."
"Tenggerokanmu lagi enggak enak?"
Di luar dugaannya, Shaselfa ternyata bersuara. Rekza menggeleng. "Oh, ini buat ganjel perut."
"Memang ngaruh?"
"Seringnya ngaruh."
Shaselfa berdecak, kemudian menaikkan telunjuknya. "Sebelum pertigaan itu, kamu singgah di sana, ya."
"Di toko donat itu?"
"Bukan," Shaselfa menggeleng. Masih belum mau menatap Rekza. Ada apa, sih, sebenarnya? "Di samping toko donat itu kan, ada rumah makan."
Itu merupakan rumah makan lesehan. Ada beberapa kendaraan yang terparkir di sana. Masih membisu, Shaselfa turun terlebih dahulu, sedangkan Rekza menghela napas dan mencari tempat strategis untuk parkir.
Pramusaji baru saja pergi dari meja yang ditempati Shaselfa ketika Rekza mendekat. Mereka tidak akan terus saling mendiamkan hingga pulang. Maka, Rekza bertanya. "Kamu lagi kesal sama aku?"
"Bisa-bisa kamu kena mag kalau keseringan makan permen buat nahan laper. Apa susahnya sih ngomong dulu, kamu pengin makan sebelum nganter aku pulang."
"Tadi aku sempat nawarin, tapi kamu tolak karena capek."
Shaselfa membuka mulut, kemudian membisu lagi sebab teralih oleh pesanan mereka yang dihidangkan di meja. "Lain kali, mau aku kelihatan capek banget, kamu tetap harus ngomong kalau lagi pengin makan. Enggak usah kamu jawab, makan sekarang."
Namun, tidak ada yang bergerak untuk menyentuh makanan, keduanya saling pandang hingga Rekza membuka mulut. "Masih ada yang perlu aku pastikan, kamu belum jawab pertanyaan aku yang tadi. Kamu lagi kesal, ya, sama aku?"
"Ini bawaan capek aja sih tadi." Rekza memperhatikan perempuan itu, menuang sambel tumis yang lumayan banyak.
"Shasefa, itu enggak kebanyakan? Bisa sakit perutmu nanti." Perempuan itu mengibaskan tangan, justru menunjuk piringnya yang Rekza belum sentuh sama sekali. "Teleponku enggak kamu angkat, kecuali saat meminta jemputan, untunglah aku belum sampai di rumah tadi."
YOU ARE READING
A Shit on Our Vow
RomanceKomunikasi yang masih berjalan antara Rekza dan mantannya menjadikan Shaselfa risau. Akan sulit mewujudkan keinginannya mendapatkan suami kaya kalau Shaselfa tak bisa mengambil hati Rekza sepenuhnya. Nyatanya, Shaselfa salah, bukan mantan cowok itu...