Terungkap

416 17 12
                                    

Monik yang paling sering menengok pada gerbang kantor, sesekali melirik langit yang mulai gelap. Rapat tim marketing mengambil waktu lebih banyak. Tidak hanya pulang telat, Shaselfa mulai merasa lapar. Gerakannya mengambil ponsel terhenti ketika bersirobok pandang dengan Bu Erika. Detik berikutnya, Bu Erika melengos dan berlalu begitu saja.

"Kenapa sih kalian belum baikan?"

Satu alis Shaselfa terangkat demi mendengar ucapan Monik. Baikan, katanya? "Bahkan sampai sekarang, aku belum bisa mikirin gimana agar proposal produk aku goal, biar bos kita itu makin senewen. Kamu jangan pernah ngarep aku yang akan datang minta maaf. Dia udah seenaknya selama ini."

Temannya ini berdecak. "Belum ada seminggu kalian enggak saling omong, berasa kayak satu milenium, tahu. Pokoknya, aku enggak mau ya jadi sasaran empuk si Erika itu."

Mobil hitam yang dikenali Shaselfa terlihat memasuki gerbang. Dia menaikkan telunjuk. "Jemputan aku udah datang."

"Eh, jangan pergi dulu." Tangan Shaselfa dicekal Monik. "Diajak kenalan dulu dong."

"Lain kali, ya." Decakan Monik terlontar, tetapi Shaselfa mengabaikannya. Dia melambai pada Monik dan bergerak menuju mobil yang segera ditepikan ketika dia mendekat. "Rapatnya molor banget tadi, maaf sampai lupa ngabarin kamu."

Ketika jam pulang seperti biasanya, Rekza menelepon sudah di perjalanan menuju kantornya. Shaselfa mengatakan ada rapat dadakan hingga tertunda pulang. Cowok itu memaklumi, mengatakan akan tetap menjemput lagi nanti.

"Za, sekalian cari makanan, ya." Raut bertanya tampak jelas di sepasang mata cokelat itu. Beberapa camilan yang tadi dilahapnya saat rapat semestinya masih bisa mengganjal perut sampai beberapa waktu ke depan. Kenyataannya, Shaselfa sudah lapar. "Biar aku enggak repot masak lagi kalau udah sampai di rumah."

"Loh, Mama ke mana?"

"Bareng Papa ke Jakarta. Nginap beberapa hari di sana."

Restoran favorit langganan Shaselfa dipadati pengunjung. Buyar keinginannya menikmati salad buah. Ada opsi yang Rekza tawarkan, dia menolak. Dia tetap memesan dan akan melahapnya saja ketika di rumah. Tidak hanya makanan berat, salad buah, Shaselfa juga mengambil beberapa keik. Rekza beberapa kali mengamati tanpa mengeluarkan komentar.

"Tapi kamu ditemani Naomi, kan?"

Begitu di mobil, Rekza membuka percakapan yang membuat Shaselfa urung menjulurkan sesendok salad pada Rekza. "Kenapa tiba-tiba bahas Teteh? Lagi kangen?"

Rekza tidak menjawab, justru mengarahkan tangan Shaselfa agar bisa menyantap salad yang ada di sendok. "Makan salad ini kok aku malah keingat Kesempatan Kedua, udah lama kita enggak ke sana."

"Ngalihin topik segala."

"Aku hanya memastikan kamu enggak sendirian aja di rumah, Shaselfa." Rekza membuka mulut. "Lagi dong."

Maka sepanjang perjalanan, mereka tidak sadar menghabiskan dua kotak itu salad buah, diiringi percakapan tentang alasan keberangkatan orang tuanya harus menginap di Jakarta. Rekza balas menceritakan aktivitasnya di kantor yang membosankan. Begitu iseng menyebutkan cewek yang pernah mereka temui di pesta Pak Takhi, Rekza justru tersenyum misterius.

"Aku enggak ketemu dia kemarin dan hari ini. Besok aku akan menunggunya di lobi lalu menyampaikan salammu."

"Eh, awas aja kalau kamu beneran nyamperin dia."

Tiba di rumah, Shaselfa bersorak dalam hati ketika Rekza menerima tawarannya untuk masuk ke rumah. Keik dihidangkannya di atas meja, kemudian pamit ke kamar. Rekza mengatakan akan menunggu sambil mencari film di Netflix.

A Shit on Our VowWhere stories live. Discover now