Mobil Naomi terparkir di garasi, Shaselfa mengembuskan napas dan beranjak ke dalam. Dia akan langsung ke kamar, membersihkan diri, kemudian menyalakan laptop. Namun, rencana itu harus tersingkir ketika menemukan Mama dan Shaila di ruang tengah.
"Wah, wah, ada Shaila."
Bocah berumur empat tahun itu melengak. Melemparkan pensil warna lantas menegak dan berlari kecil, sebelum Shaila tiba, Shaselfa sudah membungkuk untuk menyambut pelukan ponakannya itu.
"Kangen deh sama Shaila."
"Bawain aku cokelat enggak?"
"Kamu dikasih izin buat makan cokelat?"
Mulut itu memberengut, kemudian melepaskan diri dari pelukan. "Ya udah, aku enggak jadi kangen sama Tante."
Tiba-tiba, jeritan senang Shaila terdengar ketika Shaselfa menggendong kemudian membawanya ke sofa. "Tante beliin yang lain aja. Shaila penginnya apa?"
"Es krim rasa cokelat aja."
Berdecak, Shaselfa menurunkan Shaila di sampingnya. Dia menoleh. "Teteh lagi di ruang kerja Papa?"
"Hampir sejam mereka di sana. Kayaknya lagi ada masalah, Papa dari semalam udah di ruang kerjanya terus. Sewaktu Naomi datang, Shaila langsung dikasih mainan kemudian ditinggal ke dalam." Mama mengelusi rambut Shaila. "Oh iya, sebentar lagi malam minggu loh. Kamu ajakin lagi Rekza ke sini, nyobain masakan Mama."
"Rekza udah tahu Mama bisa masak."
"Tapi dia belum coba semua masakan Mama, kan? Kalau calon istrinya enggak terampil di dapur, setidaknya Mama bisa masakan dia macam-macam."
"Sebenarnya, Rekza bisa masak loh, Ma. Jadi aku enggak perlu khawatir kalau enggak bisa masak."
"Hari ini kamu bisa ngomong gitu, nanti udah nikah, kamu bakal merasakan sendiri gimana senangnya waktu masakanmu bikin suami ketagihan."
Rengekan Shaila menjeda apa yang ingin dikatakan Shaselfa. Ponakannya berkata hendak ke kamar mandi, Mama yang berinisiatif membawa ponakannya itu. Ketika memeriksa ponsel yang ternyata kehabisan baterei, Naomi muncul.
"Shaila diantar Mama ke toilet," katanya tanpa perlu memandang Naomi.
"Beberapa waktu lalu, aku ketemuan sama Rekza." Pengakuan itu segera menarik perhatiannya. Naomi ada di seberang sofa. Membereskan peralatan gambar anaknya. "Makin ganteng aja tunanganmu. Tunggu, dia enggak bilang sama kamu habis ketemuan sama aku, ya?"
"Teteh bukan orang penting yang bikin Rekza harus laporan ke aku."
"Aku memang bukan orang penting. Cuman mantan yang kebetulan bakal jadi iparnya."
Usai meja dirapikan, Naomi bangkit. Tidak lagi mengatakan apa pun dan kemudian menghilang. Berbeda dengannya, Shaselfa masih menyandar di sofa. Menatap tajam pada ponsel, rasanya ingin langsung menghubungi Rekza dan bertanya kenapa dia tidak mengatakan apa pun tentang pertemuannya dengan Naomi.
Aku memang bukan orang penting. Cuman mantan yang kebetulan bakal jadi iparnya
Penggalan kalimat itu senantiasa berputar di kepalanya. Naomi tidak hanya mengungkit masa lalu, tetapi menyentil bahwa dirinya pernah menjadi orang penting dalam kehidupan Rekza. Shaselfa bodoh, harusnya, dia sempat membalas tadi. Naomi pasti berpikir berhasil memancingnya dan itu memang benar. Dia terpengaruh sampai hanya melongo menatap laptop sejak tadi.
Ketika mengunggah konten, Shaselfa kerap meluangkan waktu memantau kolom komentar. Membalas ketika ada yang perlu dijawab. Akan tetapi, Naomi berhasil memengaruhinya. Dia mengembuskan napas, menutup laptop dan beralih ke ranjang. Besok, janji temunya dengan Rekza. Cowok itu akan menjemputnya. Dan, Shaselfa akan memastikan Rekza mengungkit pertemuan itu.
YOU ARE READING
A Shit on Our Vow
RomanceKomunikasi yang masih berjalan antara Rekza dan mantannya menjadikan Shaselfa risau. Akan sulit mewujudkan keinginannya mendapatkan suami kaya kalau Shaselfa tak bisa mengambil hati Rekza sepenuhnya. Nyatanya, Shaselfa salah, bukan mantan cowok itu...