Kisah Nesya

5 1 0
                                    

Seingat Nada, ia punya niatan untuk mencari orang yang bisa mengalihkan rasa sukanya pada Viano. Untuk menghapus perasaan bukanlah urusan mudah, kalau ada orang yang bisa mengalihkan perasaannya walau sesaat, maka Nada akan bersyukur. Bukan berarti di saat-saat seperti ini adalah waktu yang tepat untuk menyukai seseorang. Nada hanya tak mau pikirannya dibayangi Viano di beberapa waktu.

"Nak Nada!!"

Suara ini, Nada sangat kenal. Nada dan Nesya menoleh ke belakang. Bu Ratna, guru biologi sekaligus pembimbingnya dalam mempersiapkan olimpiade sejak kelas satu. Sekarang Nada kelas dua dan olimpiade tahun ini akan diadakan beberapa bulan lagi.

"Lo duluan aja ke kelasnya Nes, gue mau nyamperin Bu Ratna."

"Gila kali gue ngelewatin pesona Aron yang kece badai. Gue tetep di sini."

Di kursi dekat mading, Nesya kemudian duduk sambil senyum-senyum sendiri. Permainan basket dan voli masih dilanjutkan entah sudah berapa lama. Tentu tak selama menunggu apakah akhirnya Nesya berkesempatan merasakan cinta yang terbalas.

Kalau dilihat-lihat, dibanding mengejar-ngejar bagai orang haus cinta, Nesya lebih terlihat sebagai secret admirer. Sama seperti Nada, ia lebih suka memendam perasaan, menyukai dalam diam, kadang-kadang ia suka menuliskan apa yang dirasakannya ke dalam diari. Bedanya, Nesya lebih ekspresif dalam merespon apa yang disukainya, sewaktu-waktu pertahanannya bisa pecah, ia akan meluapkan segala perasaannya kemudian. Tapi Nada tidak percaya, dari jauh saja Nesya bersikap sebagai budak cinta seorang Aron, saat jarak mendekati satu meter, Nesya akan berubah menjadi batu yang keras, lumutan, dan kaku.

Mendekati Bu Ratna, Nada akhirnya sadar jika ada seseorang yang bersamanya. Tak ia kenal, Nada jarang memperhatikan sekitar, yang ia tahu seorang laki-laki itu berseragam sama seperti murid lain, berkacamata, tinggi, dan ada tahi lalat kecil di bawah sudut matanya.

"Sabtu mulai belajar kelompok kan ya?"

"Iya Bu, udah Nada kabarin juga ke anggota kelas satu."

"Nambah anggota baru ya, namanya Daren. Ibu rekomendasiin dia ikut olimpiade, nilai biologinya cantik banget. Kemarin aja dapat nilai seratus, cuma kamu sama Daren yang dapet nilai sempurna di ulangan kemarin seangkatan."

"Oh gitu? Kalo gitu hari sabtu mulai ikut belajar kelompok di perpustakaan aja."

"Harus dong, masih ada waktu kurang lebih tiga bulan lagi, persiapin baik-baik materinya. Oh iya, untuk pelatihan sudah ditentukan tanggalnya, 25 Februari, jaga kesehatan kalian selama itu."

"Siap Bu Ratna."

"Tentunya sebagai kelas dua, kompetisi ini menjadi yang terakhir bagi kalian. Ibu percaya kalian bisa melakukan yang terbaik. Setelah selesai, jangan lupa juga berkontribusi mengajari adik-adik kelas kalian sebagai penerus. Sekolah kita dituntut mempertahankan prestasi, kalian tentu mengerti."

Nada mengangguk mantap, ini kompetisinya yang terakhir di bangku SMA, Nada harus merebut juara nasional kalau ingin direkomendasikan ke perguruan tinggi terkenal. Semangatnya menggebu, ia berjalan beriringan bersama Daren yang tampak kaku. Wajahnya terasa asing, tak pernah terpikirkan kalau ia akan mendapat partner belajar sekaligus rival saat genderang perang bertabuh nanti.

Entah karena apanya, Daren bahkan murid tepat di samping kelasnya. Bisa-bisanya Nada tak mengenali. Tapi Nada sedikit khawatir juga, selama ini belum pernah ada yang menyainginya, kalau Daren sepintar itu, harusnya sejak kelas satu ia bergabung dengan tim olimpiade. Tapi Nada adalah Nada, memenangkan olimpiade sudah seperti tujuan hidupnya. Dengan senang hati ia akan mengalahkan siapapun musuhnya, kali ini sasarannya adalah medali emas setelah tahun kemarin mendapat medali perak.

Nesya baru kembali setelah bel masuk berbunyi, betah betul ia memandang gebetan sementara yang dipandang tak peduli setan ada orang yang memandangnya diam-diam. Hidup kadang tak adil, bagaimana akhirnya, biarkan semesta bekerja.

Tapi yang dilihat Nada, tukang akting itu datang ke kelas dengan wajah yang bersemu merah. Nada tak perlu repot-repot bertanya karena ia akan bercerita dengan sendirinya. Nesya mana tahan memendam cerita bahagia.

"Nad, nanti pulang ayo ke mall. Gue ceritain kisah yang uwu biar penasaran lo ilang."

"Perasaan gue gak bilang kalo gue penasaran dah, gue cuma mau bilang kalo pulang sekolah nanti gue mau belajar."

"Di lantai dua kaya biasa, di sana lo bisa belajar sambil nyemil plus ngobrol. Ngebul tuh kepala kalo belajar monoton terus."

"Hmm sedikit kurang tertarik sih."

"Gue traktir es boba."

"Oke sepakat."

Nesya mendecih, Nada menyengir, mereka masuk ke dalam kelas sebelum guru galak datang.

***

Nada pernah diberi pertanyaan, antara masa depan dan teman yang banyak, mana yang akan dipilih? Nada menjawab masa depan tanpa berpikir jika dua hal itu bisa diraih sekaligus. Pola pikir Nada sudah kebal semenjak SMP jika punya teman itu bukanlah hal yang penting dibanding tujuannya untuk mempersiapkan masa depan. Ia nyaris tak punya teman sebelum Viano datang mengacau di bimbel Mamanya. Viano datang merecoki hidupnya yang jika diibaratkan jalan, itu sudah seperti jalan tol tanpa hambatan.

Anehnya Nada tak merasa risih, ia mulai berpikir jika punya teman dekat ternyata begitu menyenangkan. Viano yang populer, Nada jadi kecipratan memiliki temannya yang begitu banyak. Nada tak takut lagi menghabiskan waktu yang dulu ia berpikir itu sangat membuang-buang waktu. Yang senang mendengar hal ini tentu saja adalah Papanya, dibanding melihatnya terus menunduk menghadap buku, ia lebih senang melihat wajah itu menghadap orang yang dinamakan teman. Ditambah kepribadian Viano yang charming, mudah saja bagi ia akrab dengan pemilik bimbel. Tapi ingat, semua itu tercipta dengan risiko yang beriringan. Nada ingin berteman, tapi sebagai perempuan yang berteman dengan laki-laki, bukankah ada risiko yang dinamakan rasa suka? Atau mengingat Viano adalah anak populer di kalangan perempuan, bukankah ada risiko ia dipandang tak suka oleh perempuan lain bahkan ditindasnya? Inginnya itu tak terjadi, tapi apa boleh buat, kan?

Berteman dengan satu teman perempuan saja sudah membuat ia bersyukur sekarang. Nesya adalah yang terbaik menurutnya, pun Nesya pernah berkata jika Nada adalah teman yang cocok untuknya. Mereka dekat, dimulai sejak keberanian Nesya mengajaknya ngobrol saat masa orientasi.

Ada alasan mengapa Nada dan Nesya memilih lantai dua mall sebagai tempat nongkrong, di sana ada satu spot yang tenang bukan main. Beberapa set kursi tertata menghadap tembok yang dihias apik. Sebenarnya itu adalah area milik toko buku yang tak bisa dipungkiri, dibanding sudut lain, toko ini terlihat paling sepi.

"Nih."

Nesya menyerahkan minuman dengan bola-bola kecil itu di hadapan Nada.

"Ini sih bukan es boba Mang Beti, rasanya kurang nendang."

"Nikmatin aja kenapa, kalo Mang Beti dagang di sini juga udah gue beli."

"Jadi? Keberuntungan apa yang lo dapet hari ini?"

Nesya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Kisah cinta antara Nesya dan Aron akan segera dimulai."

Viano TaleWhere stories live. Discover now