Anak senja

5 1 0
                                    

Nada tak pernah mengajak banyak teman bahkan seorang teman sekalipun ke rumah. Nada hanya menceritakan bagaimana perkembangan belajarnya kala itu pada orang tuanya. Viano adalah orang pertama yang sepatutnya disebut teman, bermain bersama, mengobrol, dan mampir ke rumah selepas jam bimbel selesai.

Bergaul dengan Viano amat menyenangkan ternyata, kurang dari dua minggu mereka sudah sangat akrab layaknya sudah mengenal bertahun-tahun. Inilah yang diinginkan Papanya, anak gadisnya tersenyum bahagia dengan seseorang yang disebut teman. Karenanya, Nada jadi terbiasa mengobrol dengan orang-orang asing. Entah karena efek membaca buku thriller, sebelumnya setiap bertemu orang asing ia akan waspada karena bisa saja mereka menyimpan sebuah pisau di balik bajunya, lalu menusuk jantungnya dan memotong tangannya, fantasinya terlalu liar kala itu.

Tak ada lagi Nada yang pendiam, sewaktu-waktu ia bisa menjadi garang, menyebalkan tiada tara, mencoba melawak namun tak berhasil, dan hangat kepada semua orang tanpa ia lupakan satu motonya. No olimpiade no life. Ia adalah pejuang untuk pendidikan.

Nada sudah tak sabar ingin keluar dari kamar dan berhenti mengcosplay jadi koala busung lapar. Di ruang tamu, entah mereka membicarakan apa sampai terpingkal-pingkal bahagia. Semoga Viano tak berulah. Nada membuka pintu kamar lumayan keras, sengaja semoga mereka menyadarinya. Hidungnya juga gatal sedari tadi.

"Anakku bisa begitu juga ya? Terus..terus..?"

"Yah, terus dia lari om kaya dikejar-kejar setan padahal itu kan ular bohongan. Dia teriak-teriak kaya orang gila ditontonin banyak orang."

Tunggu, mereka mengghibahi Nada? Dari sekian banyak topik mulai dari berita maraknya begal motor dan harga ikan cupang melambung tinggi, mereka lebih memilih mengghibahi dirinya?

Tawa mereka kemudian berhenti karena melihat Nada di depan mereka.

"Dek, katanya kamu pernah nyungsep di semak-semak ya? Terus ketimpuk bola di lapangan? Kena prank ular mainan? Dikejar-kejar bendahara kelas? Dimarahin..."

"Pah, anakmu menderita gara-gara itu, bisa-bisanya Papa ketawa."

"Semua itu cuma didapet masa-masa sekolah loh, ah, Papa jadi rindu masa-masa remaja."

"Ceritain om! Gimana om ketemu sama Tante?"

"Panjang ceritanya karena yah, sebelumnya om banyak mantannya loh."

Nada bergidik ngeri, kenapa Viano dan Papanya begitu mirip? Sementara itu, Mamanya datang dan menyela pembicaraan.

"Siapa yang punya banyak mantan?"

"Eh Itu Ma..."

"Bukannya Papa bilang cuma punya mantan satu?"

"Bener kok Ma, cuma satu, gak bohong deh."

"Masa?"

Setengah jam berlalu, di depan rumahnya mulai ramai oleh murid-murid SMA sekitar lima belas orang. Nada mengajak keluar Viano keluar, di dalam rumah Mamanya masih memperdebatkan tentang mantan suaminya.

"Lo sih pake acara minta ceritain masa remaja, gue jadi anak brokenhome tanggung jawab lo."

"Gak bakal, percaya deh."

"Lo juga, ceritain yang bagus-bagus kek ke Papa, bikin malu aja."

"Tapi Papa lo seneng, Nad."

"Gue ceritain juga ke bokap lo baru tau rasa."

"Silahkan, Nad. Silahkan kalo lo berhasil ketemu dan ngobrol sama bokap gue. Pulang ke rumah aja jarang."

Tatapan Viano kemudian melemah. Nada jadi merasa telah mengatakan sesuatu yang salah.

"Gue belajar dulu, lo juga belajar sana."

Nada kembali masuk ke kamarnya, Viano sangat sensitif jika sudah menyangkut tentang keluarganya. Yang Nada tahu orang tua Viano adalah tipe orang tua karir pemuja pekerjaan, seolah seluruh hidupnya hanya didekaasikan pada apa yang disebut dengan pekerjaan itu.
Apa yang harus Nada lakukan agar tak merasa bersalah lagi?

***

Nada bersiap-siap di balik pintu, matanya memaku seseorang di antara belasan orang yang satu per satu pergi menjauhi tempat bimbel. Viano pasti melakukannya, ia pasti pamit pada orang tuanya dahulu sebelum pulang.

"Tan, pamit pulang,"

Lalu Nada berlari cepat menghampirinya.

"Ma, Nada mau ke perpus boleh ya?"

"Sore-sore begini?"

"Iya, tadi kelupaan. Ada tugas buat besok."

"Sama Viano?"

"Iya!!!" jawab Nada cepat

"Yaudah, jangan lama-lama tapi. Langsung pulang!"

Nada membuat gestur oke! Lalu menarik tangan Viano dan mengambil sepeda berkeranjangnya.

"Kuy!!"

"Mau kemana lo? Gue tahu tadi lo bohong. Perpustakaan harusnya udah tutup setengah jam yang lalu."

"Kemana kek, masa lo gatau tempat nongki."

Viano menatap heran pada perempuan yang biasa ia lihat memakai kacamata di sekolah, sekarang tidak lagi. Nada sudah bersiap di atas sepedanya, Viano masih belum bergerak.

"Ayo! Budeg ya lo?"

"Lo yang katarak apa gimana? Liat tuh ban sepeda kempes begitu."

Nada melongok ke bawah, betul jika kempes. Sudah lama ia tak memakai sepeda, patut jika ada satu dua yang tak beres.

"Yah, bentar gue ambil pompa."

"Kelamaan."

Viano melepas tangan yang memegang setang dan mempersilahkan Nada duduk di depannya.

"Dih, ogah, gak jadi pergi lah gue."

"Gak tanggung jawab banget sih lo, niat gak nemenin gue?"

Dilihat dari mana pun, Nada tak akan memilih duduk di depan Viano sementara Viano mengayuh. Nada memilih berdiri di belakang sepeda, kakinya bertumpu pada besi yang terpasang dan tangannya memegang pundak Viano kuat-kuat.

"Ayo!!"

Viano tersenyum lalu dengan sengaja mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi. Nada menguatkan pegangan, kakinya mulai keram walau baru sebentar. Sekali lagi Viano tak tahu cara mengendarai sepeda di sore yang damai ini. Jangan sampai tangan Nada yang memegang pundaknya beralih dan mencekik lehernya. Nada tahu dimana letak nadi yang akan membuatnya tak bernapas seketika. Tapi Nada bukanlah psikopat yang sanggup membunuh seorang teman, paling Nada akan menyumpah serapah setelah mereka berhenti.

"Mampus deh kaki gue keram, gak beradab banget lo jadi orang. Hampir gue cekik lo."

Viano tak mendengar, ia memarkirkan sepedanya paling pinggir di antara banyaknya motor berjejer. Nada lalu melihat sekeliling tempat dimana ia berpijak. Sebuah kafe, terlihat ramai dikunjungi dilihat dari banyaknya motor terparkir. Mengunjungi kafe sore hari emang terbaik, ditemani kopi, senja, dan sebuah puisi.

"Gak nyangka lo selama ini jadi anak indie."

"Gak tahu aja lo, Nad. Gue merangkap berbagai julukan, selain jadi anak musik dan anak indie, kadang-kadang gue jadi anak motor, anak bisnis, anak street food, anak skateboard sampe jadi anak gak tahu diri."

"Multalenta juga ya lo, tapi bagi gue lo cuma buaya sinting."

"Terus kenapa lo mau jalan sama buaya kaya gue?"

"Karena buaya itu temen gue yang lagi kesepian. Lain kali minta pacar lo temenin kenapa, punya pacar buat apa coba," jawab Nada ketus

"Eh? Sejak kapan lo peduli soal pacar gue?"

Nada tak mendengarkan, ia melangkah cepat memasuki kafe. Duduk di pinggir jendela adalah kebahagiaan, alunan musik romantis terdengar dan aroma kopi menguar ke segala penjuru ruangan. Nada sedang berpuisi di dalam hatinya, ternyata begini rasanya menjadi anak senja.

Viano TaleWhere stories live. Discover now