udh vote?
Ok gas!
"Selamat pagi bapa ibu I lop yu" Ia menyambut kedatangan Baginda dan Kanjeng ratu di hadapannya sambil mengganti lirik yang biasa di pakai Ehsan Payong.
"Tumben muka kamu ceria banget"
"Muka ceria salah, muka cemberut salah Bapake maunya apa si"
"Maunya kamu, ea tareek sist"
"SEMONGKO" Jawab Ibu, Cakra dan Cici bersamaan.
Sedangkan si Bapak tertawa di tempatnya melihat respon dari mereka.
"Wah wah Bu, liat Bapake udah bisa gaul"
"Iya kan bapa kamu punya tok tok" Sedangkan Cakra dan Cici yang barusan mendengar pernyataan spontan dari Ibunya menatap nyalang ke arah Bapak.
"Ooo gitu ya giliran anak dilarang, bagus ya bagus"
"Eh mau ngapain kamu" Tanya Bapak yang sudah panik karna kedoknya terbongkar.
"Mau ngelelang bapak" Jawabnya spontan.
"Heh kurang garem, tega kamu wahai Ananda" Balas Pak Tejo sambil menatap iba ke arah Putra semata wayangnya.
"Nih garem" Bu Narsih yang baru saja balik dari dapur langsung menyodorkan setoples garem ke arah suaminya.
"Buat apa Bu?" Pak Tejo mengernyitkan dahinya heran.
"Loh, Bapak bilang Cakra kurang garem toh ini ambil sok garemin, bener kan Ibu" Cakra dan Pak Tejo saling tatap dan menghela nafasnya kasar.
"Gak gitu konsepnya Ibu, ah gegara Bapake ini"
"Kok jadi Bapak anak siapa kamu ha?!" Dirinya tak terima jika di salahkan.
"Yang anak bapak lah masa iya anak Pak Kades" jawabnya enteng.
"Oh iya lupa saya"
"Astaghfirullah masa anak Bapak yang ganteng pinter nan kiyowo ini di lupain"
"Kiyowo? Koyo kali typo lambemu " Cakra menepuk jidatnya keras.
Aw
"Shhhtt udah cepet sarapan berantem terus Bapak sama anak" Bu Narsih menengahi perdebatan antara bapak dan anak itu.
Mereka mengangguk dan saling memberikan tatapan yang menyatakan perang.
Cakra mengejek Pak Tejo begitu juga sebaliknya.
Sedangkan Cici yang menjadi penonton setia antara Abang dan Bapak nya hanya diam tanpa mengerti arti ucapan mereka.
"Sok makan Abang pimpin doa"
"Bapak aja lah Bapak kan tua Bu" Bapak yang mendengar perkataannya barusan mengambil satu 1 butir Pete seger dan melemparkannya ke wajah songong milik Cakra.
"Sembarangan lambemu! Wajah boleh tua tapi niat, tekad dan jiwa Bapak mu ini masih sangat muda" ucapnya berbangga diri sambil menepuk dadanya.
"Udah tua, diem aja" Balas Cakra cuek, sambil melempar kembali Pete ke arah mulut Pak Tejo
"Anak kur-"
Happp
Tepat sasaran sebutir peluru Pete masuk kedalam rongga mulut milik pak Tejo.
"Bismillahirrahmanirrahim allahumma bariqlana Fima rajaqtana waqina azabannar" Cakra cekikikan sendiri ditempatnya melihat raut kesal si Bapak.
Mereka makan dengan Hidmat sesekali Pak Tejo dan Cakra saling memberikan tatapan mematikan.
"Alhamdulillah" Ujar Cakra sambil mengelus perutnya.
"Buk, Cici, pangeran berkuda besi pergi dulu ya ke Sekolah assalamualaikum" Cakra mencium punggung tangan ibunya.
Lalu mencium punggung tangan adik kecilnya.
"Heh kamu gamau cium tangan Bapak juga?"
"Gak! bau Pete" Setelah mengatakan itu Cakra berlari dari sana.
Bisa mati dia di bejek bejek sama Pak Tejo, padahal Pete makanan favorit di rumahnya setelah mendoan.
"Astaghfirulloh, Bu si Abang pas kecil suka jatoh dari tempat tidur ya kalo Bapak lagi di sawah?". Tanya pak Tejo sambil menatap iba kepergian Putranya.
"Iya, tapi langsung bangkit pas di tanya sakit ga, Abang cuma geleng kepala". Hancur sudah harapannya setelah mendengar kebenaran yang selama 18 tahun tertutupi.
"Pantesan atuh si Abang jadi gitu, orang otaknya dari kecil udah pindah pindah". Dirinya hanya bisa menggelengkan kepalanya miris melihat kepergian putra semata wayangnya.
"Pak Ndak ke cawah?". Tanya Cici sambil mengerjapkan matanya lucu.
"Iya ini mau ke sawah".
"Jangan main keluar ya, dirumah aja nanti ada culik". Cici menganggukkan kepalanya.
"Bagus, semoga kamu gak kayak Abang kamu ya" ia mencium kening Cici berpamitan kepada istrinya, dan pergi ke rumah keduanya, pondok di sawah.
Nexttt chapt???