Bab 20

13 1 0
                                    

Vivi berdiri di depan meja Secil, ia meletakkan kedua tangannya di meja, dan menatap Secil datar.

"Ada yang ingin dijelaskan?" Tanya Vivi.

"Apaan sih? Jelasin apa coba?" Secil bertanya kembali.

"Masih nanya? Ga mungkin lo ga tau maksud gue, kecuali kalo lo emang bego beneran." Vivi menarik sudut bibir kirinya.

Emosi Secil mulai tersulut. Ia tidak terima dengan perkataan Vivi.

"Berani-beraninya ya lo! Lo bilang gue bego hah?! Lo ga tau siapa gue?" Secil meninggikan suaranya, ia bahkan sudah berdiri sekarang.

"Upss sorry, sekarang gue yakin kalo lo emang bego. Gue ga tahu lo siapa, dan gue juga ga mau tahu. Tapi kayaknya lo itu manusia. Manusia berjiwa iblis." Vivi memang berbicara dengan tenang, namun ia menekan setiap kata yang ia ucapkan.

"Lo!" Secil melayangkan tangannya hendak menampar Vivi. Namun vivi dengan sigap menahannya, ia memegang tangan Secil dengan kuat, hingga Secil meringis kesakitan.

"Eh lo apaan sih? Lepasin tangan temen gue ga?!" Mei berusaha melepas tangan Vivi. Namun bukannya lepas, Vivi justru semakin kuat memegangi tangan Secil.

"Vio bantuin dong, kok lo malah diem sih?" Mei meminta bantuan Vio, akan tetapi bukannya membantu Vio malah kabur.

"Aduhh sorry girls, perut gue mules banget." Vio memegang perutnya dan berlari ke luar kelas.

"Ihh Vio, kok malah kabur sih?" Teriak Mei. Vivi tersenyum ke arah Secil, lalu ia menghempaskan tangan Secil dengan kasar hingga ia terjatuh ke lantai. Teman sekelas mereka meringis melihat hal itu.

Mei berjalan menghampiri Secil, namun belum sempat ia melangkah, Mei kembali diam di tempatnya.

"Lo berani bantuin dia, lo bakal bernasib sama!" Vivi memperingatkan. Mei menelan salivanya mendengar ancaman Vivi itu. Vivi tersenyum kepada Mei, "Anak pintar." Katanya.

Vivi kemudian menghampiri Secil yang masih terduduk di lantai. Ia mengusap rambut Secil dan menariknya ke belakang. Secil meringis kesakitan.

"Gue ga akan ngelakuin ini kalo lo ga ganggu gue duluan. Tapi_." Vivi menggantungkan kalimatnya. Ia menatap Secil dengan tajam.

"Kalau lo berani ngusik gue apalagi temen-temen gue. Gue bisa ngelakuin hal yang lebih gila dari ini. Ngerti?" Vivi menunjukkan senyum manisnya kepada Secil. Napas Secil memburu, ia sangat marah sekarang. Tapi lagi-lagi ia tak berkutik saat berhadapan dengan Vivi. Ia hanya menatap Vivi dengan tatapan penuh emosi dan dendam.

"Lo denger gue ga?!" Vivi meninggikan suaranya, dan menjambak rambut Secil lebih kuat, hingga kepalanya mendongak ke atas.

"I-ia Vi, gue ngerti." Suara Secil bergetar, antara takut, marah, dan tentunya malu. Karena baru kali ini ada orang yang berani kepadanya.

Vivi melepas tangannya dari rambut Secil, kemudian ia berjalan ke luar kelas. Lima langkah berjalan, ia berbalik.

"Oiya satu lagi, kalo ke sekolah jangan lupa keramas ya Sil. Rambut lo lepek banget, asli." Seisi kelas tertawa mendengar ejekan Vivi itu.

"Diem lo semua! Lo berani sama Secil?!" Mei berusaha membela temannya itu. Kelas kembali diam.
Vivi mengangkat bahunya, dan pergi menyusul Luna dan Aruna di UKS. Sedangkan Secil sudah mengepalkan tangannya sejak tadi. "Awas aja lo." Batinnya. 
***
Vivi telah sampai di UKS, dan ia langsung menghampiri Luna dan Aruna.

"Gimana Ar?" Tanya Vivi.

"Ga papa kok." Jawab Aruna tersenyum.

"Ga papa gimana? Kaki lo luka, kaos kaki lo sobek, baju kotor. Terlalu banyak "ga papa" juga ga baik Ar." Geram Luna. Pasalnya ia merasa kesal, bisa-bisanya Aruna bilang kalau dia ga papa, padahal anak kecil juga tahu jika keadaannya tidak baik-baik saja. Vivi menghela napas.

"Bentar lagi bel pulang, kita langsung aja, gue udah suruh orang bawain tas kita." Kata Vivi.

"Siapa?" Tanya Luna. Alis cewek itu bertaut, Vivi kan murid baru di sini trus dia nyuruh siapa coba?

"Si Gavin." Jawab Vivi singkat, padat, dan jelas. Aruna dan Luna saling bertatapan. Luna mengangkat bahunya, tanda bahwa ia juga tidak tahu. Vivi menghela napas lagi. Ia lelah  karena ia sudah banyak bicara dari hari ini. Dan sekarang? Ia harus menjelaskan pasal tas yang ia titip ke Gavin tadi kepada kedua sahabatnya itu.

DepressedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang