Setelah Ferril dan Aruna pergi, Vivi segera menghampiri Luna. Ia berdiri di belakang gadis yang masih menangis itu.
"Lama banget neng, nangisnya." Vivi berbicara agar Luna tahu bahwa ia ada di sana. Dan benar saja, dengan reflek, Luna langsung menoleh ke belakang.
" Vivi?" Luna sedikit kaget melihat Vivi berdiri di sana.
Vivi mengangguk, lalu duduk di samping Luna.
"Masih lama, ga?" tanya Vivi.
Luna yang tidak paham maksud pertanyaan Vivi hanya mengernyit.
"Nangisnya. Masih lama, ga?" Vivi memperjelas pertanyaannya. "Di sini lumayan horor tau, Lun. Udah sore juga, oh ... Banyak nyamuk juga," sambung Vivi. Ia menepuk kaki dan tangannya beberapa kali, saat ada nyamuk yang hinggap di sana.
"Pulang yuk?" ajak Vivi.
Luna menggeleng. Ia masih enggan untuk pulang.
"Pindah tempat, yuk?" Vivi memberi saran. Sungguh, ia tidak tega kepada dirinya sendiri, jika ia harus pulang dengan gatal dan bentol di seluruh tubuhnya hanya karena duduk di bawah pohon besar yang banyak nyamuknya.
Luna tersenyum, lalu mengangguk. Ia berdiri dan membantu Vivi berdiri dengan menarik tangannya. Mereka berjalan, mencari tempat yang nyaman untuk bercerita. Keduanya hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Dan akhirnya, mereka menemukan tukang nasi goreng. Keduanya memutuskan pergi ke sana.
"Mang, nasi gorengnya dua. Ga pedes." Vivi memesan nasi goreng sebelum duduk di samping Luna.
Vivi menuangkan air dan memberikannya kepada Luna.
Luna menerima air tersebut. "Makasi." Katanya sebelum meneguk air itu. Vivi mengangguk dan mengedarkan pandangannya ke jalanan yang cukup ramai. Ia memperhatikan orang yang berlalu-lalang.
"Vi?" Luna memanggil Vivi, untuk mengambil perhatian cewek itu.
Vivi menoleh, menunggu Luna melanjutkan kalimatnya.
"Gue bener, kan? Keluarga gue rame banget. Berisik." sambung Luna.
Vivi tersenyum dan mengangguk. "Rame banget," Vivi terkekeh.
Luna menghela nafas. "Aruna pasti udah cerita," kata Luna.
Vivi mengangguk. "Jadi gimana?" tanya Vivi.
Luna diam.
"Jadi ___""Ini neng nasi gorengnya." Tukang nasi goreng itu memotong kalimat Luna. Vivi merasa kesal, ia mendelik kepada mamang nasgor itu.
"K - kenapa, neng?" Mamang itu bertanya dengan gugup.
Luna terkekeh. "Ga papa mang, temen saya emang rada-rada." kata Luna.
Vivi mendelik tak suka dengan kalimat Luna barusan.
"Ya udah neng, saya pergi dulu." Mamang nasgor meninggalkan Luna yang sedang ngakak dan Vivi dengan wajah ditekuk.
"Santai neng, jangan emosi mulu! Cepet tua tahu rasa lo," Luna mengejek Vivi.
Vivi semakin kesal. Ia menarik piring nasi gorengnya dan menyuapkan nasi goreng itu ke mulutnya. Vivi makan dengan bar-bar, hingga ia tersedak.
"Uhukk ... uhukk ..."
"Eh minum dulu!" Luna menyodorkan air minum kepada Vivi. Dan Vivi meneguknya hingga habis tak bersisa.
Vivi memegang dadanya yang terasa perih. Nafasnya juga ngos-ngosan seperti habis lari maraton.
Luna tertawa melihat keadaan Vivi.
"Makanya ... kalau makan tuh pelan-pelan. Keselek gini baru tahu rasa." Luna mengejek Vivi.Vivi mendelik." Lo ga usah mengalihkan pembicaraan," sinis Vivi.
Bibir Luna mengatup. Kalau gini ceritanya, ia tidak bisa mengelak lagi. Luna menghela nafas. Ia mengambil air dan meminumnya sedikit. Tenggorokannya tiba-tiba kering mendengar perkataan Vivi. Memang kalimatnya biasa saja. Tapi, cara Vivi berbicara memang selalu sukses membuat orang tak berkutik.
"Bokap ga pernah setuju kalau gue jadi pelukis. Padahal itu mimpi gue sejak kecil," Luna memberi jeda pada kalimatnya. "Dan nyokap? Huhh ... Dia ga ngelarang, tapi juga ga ngebela gue. Yang dia tahu gue ga boleh buat citra keluarga rusak, dan secara ga langsung dia sebenarnya dukung bokap gue." Luna menunduk.
Vivi diam. Mencoba mencerna masalah sahabatnya ini. Ia tidak tahu, jika Luna yang selalu ceria ini juga punya masalah. "Memang ya, yang selalu tertawa ... bisa jadi yang menyimpan luka lebih banyak," batin Vivi. Dan ia sadar, kalimat itu juga berlaku untuknya.
Vivi memegang bahu Luna, dan tersenyum saat cewek dengan mata tegas dan rambut bergelombang sebahu itu melihat ke arahnya.
"Gue ga tahu kalau selama ini lo nyimpen beban seberat ini. Mungkin karena udah lama ga ketemu, jadi banyak hal yang terlewatkan. Tapi, sekarang lo ga sendiri. Om sama Tante mungkin ga ngedukung elo. Tapi gue, Aruna, Gavin dkk akan selalu ada buat elo. Dan kita bakal selalu ada buat elo." kata Vivi.
Luna menatap Vivi dengan mata berkaca-kaca. Ia lalu berhambur, memeluk Vivi.
"Makasi ya ... Kalian emang sahabat terbaik gue!" Luna mulai menangis. Vivi mengangguk, lalu melerai pelukan Luna."Heheh ... Malu diliatin orang," Vivi terkekeh, begitu juga dengan Luna.
"Jadi gimana? Lo mau berhenti, atau lanjutin mimpi lo?" tanya Vivi.
Luna hanya diam, dan mengangkat bahunya. Ia juga tidak tahu harus bagaimana. Luna kembali lesu, ia menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya, hingga mulutnya penuh.
Vivi terkekeh. " Tadi aja, sok ngingetin gue. Eh ... sekarang, sendirinya malah gitu." sindir Vivi. Luna yang tersindir hanya mendelik kesal.
"Lo mau denger pendapat gue, ga?" tanya Vivi.
Luna langsung mengangguk dengan mulut penuh nasi goreng.
"Telen dulu!" suruh Vivi. Ia hanya menggeleng melihat kelakuan temannya itu.
Luna menelan nasi gorengnya dengan susah payah, lalu menatap Vivi. Menagih ucapan Vivi tadi.
"Gue tahu, ini ga mudah. Tapi, ga ada yang ga mungkin. Jadi, menurut gue lo harus ikutin perkataan orang tua lo." kata Vivi.
Mata Luna membulat, ia pikir Vivi akan mendukungnya.
"Gue belum selesai ngomong," sambung Vivi.
"Heheh ... Lanjut Vi, lanjut!" kata Luna.
Vivi memutar bola matanya, dan melanjutkan kalimatnya." Lo harus ikutin apa kata orang tua lo! Mumpung mereka masih ada. Tapi, lo juga ga boleh nyerah dengan mimpi lo!"
"Maksudnya?" Luna bingung dengan perkataan Vivi.
"Gini Lun, lo ikutin kata orang tua lo. Mereka nyuruh lo belajar, ya lo belajar. Apapun itu, selagi mereka ga nyuruh berbuat kriminal, lo oke in aja. Tapi, di saat yang bersamaan lo juga ngejar mimpi lo. Mereka ga harus tahu, lo kejar mimpi lo dalam diam. Nanti, saat persiapan lo udah mateng, di saat lo udah yakin kalau mimpi lo akan terwujud. Baru deh, lo kasih tahu ke mereka."
"Kalau mereka ga setuju, gimana?"
"Gue sih yakin, kalau mereka bakal setuju. Yang mereka takuti bukan soal penerus perusaahan, Lun. Tapi, masa depan lo. Jadi, menurut gue ... Kalau lo dateng ke mereka, di saat lo udah bisa membuktikan kalau jadi pelukis bukan hal yang buruk dan lo bisa jadi orang sukses, gue yakin mereka bakalan setuju."
Luna diam, ia memikirkan semua perkataan Vivi. Setelah beberapa saat, Luna mengangguk, semangatnya kembali berkobar.
"Lo bener. Gue harus ngelakuin pekerjaan double ini. Dengan begini, gue ga harus ribut tiap hari sama bokap." Luna berbicara dengan semangat dan penuh tekad. "Gue bakal buktiin, kalau pelukis juga bisa jadi orang hebat!" sambung Luna.
Vivi mengangguk senang. "Fighting!" Vivi mengepalkan tangannya, memberi semangat. "Fighting!" Luna mengikuti gaya Vivi. Kedua lalu tertawa.
"Pulang, yuk? Udah sore." Vivi mengajak Luna pulang.
Luna mengangguk. Keduanya segera pulang, setelah membayar nasi goreng mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Depressed
Teen FictionMasa remaja adalah masa yang sulit. Banyak hal yang tidak sesuai ekspektasi. Bingung, takut, dan cemas menjadi hal yang biasa. Banyak hal yang memengaruhi kesehatan mental mereka. Setiap orang memiliki cerita dan masalah yang berbeda. Pilihannya han...