Mama Anes mengetuk pintu kamar Aruna. Membangunkan dua anak gadis yang masih berkelana dalam mimpinya.
"Aruna ... Vivi ... Bangun sayang, siap-siap ke sekolah, nanti telat." Mama Anes sedikit berteriak agar mereka bisa mendengarnya.
"Iya ma." Sahut Aruna dari dalam. Mama Anes lalu pergi setelah mendengar sahutan Aruna dari dalam. Ia harus memasak untuk mereka dan bersiap untuk pergi bekerja.
"Vi ... bangun Vi!" Aruna menggoyang-goyangkan tubuh Vivi, agar cewek itu bangun. Cukup lama Aruna mencoba membangunkan Vivi, hingga akhirnya cewek itu bangun dan duduk dengan lesu.
"Lo kebo banget sih, Vi!" kesal Aruna.
"Hehehe sorry Ar," kekeh Vivi.
Kukuruyukk ...!
Ayam jago milik tetangga Aruna mengkokok.
"Astagfirullah!" Vivi memegang dadanya. Ia sangat kaget mendengar suara ayam di pagi hari.
"Ahahaha" Aruna menertawakan Vivi. "Hadehh orang kaya, denger suara ayam jago aja kaget. Ga pernah denger, Bu?" ejek Aruna.
Vivi hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Vivi menggeleng, "Gue mandi duluan dan lo jangan tidur lagi!" kata Aruna. Vivi langsung mengangguk sebagai jawaban.
Vivi meraih ponselnya saat ponsel itu berdering menandakan ada panggilan masuk.
"Halo pak,"
"Halo non, bapak udah di depan."
"Baik pak." Vivi memutuskan sambungan telfonnya dan berjalan ke depan.
"Pak Dadang udah lama?" tanya Vivi.
"Ngga non, bapak baru nyampe," jawab Pak Dadang. "O iya non, bapak kayaknya ga bisa nganter Non Vivi ke sekolah deh. Soalnya bapak harus bawa mobil ke bengkel, tadi sempet mogok," sambung pak Dadang.
"Ya udah Pak, ga papa. Vivi naik angkot aja nanti."
"Sekali lagi maaf ya, non." Pak Dadang berkata dengan sopan.
"Hahah, santai aja kali Pak. Ya udah, Vivi mau masuk dulu. Pak Dadang hati-hati." Vivi kembali masuk ke rumah, dan Pak Dadang juga meninggalkan rumah Aruna.
"Vi, lu mandi gih. Abis itu sarapan," kata Aruna.
Vivi hanya mengangguk dan segera mandi. Dua puluh menit berlalu, Vivi telah selesai dengan seragamnya. Vivi bukan orang yang ribet, apalagi soal riasan. "Gue udah cantik." Kalimat yang selalu ia katakan untuk melindungi sifat malasnya dalam hal berdandan.
Vivi pergi ke dapur untuk mengisi perutnya. "Loh, mama Anes kemana?" tanya Vivi. Ia lalu duduk di kursi di sebelah Aruna. "Udah pergi." Jawab Aruna singkat. Vivi hanya mengangguk dan melanjutkan sarapannya.
Setelah selesai sarapan, kedua gadis itu langsung ke luar untuk mencari angkot yang akan membawa mereka ke sekolah.
Namun, baru saja keluar. Mereka berdua sudah dikagetkan oleh seorang cowok yang bersandar di motornya. Vivi menghela napas, "Padahal masih pagi," batin Vivi.
Berbeda dengan Vivi, Aruna justru mengernyit bingung. "Vi, itukan murid baru itu ya?" Tanya Aruna dengan berbisik. "Hmmm," jawab Vivi. Mereka lalu menghampiri cowok itu.
"Lo ngapain ke sini?" Tanya Vivi dengan tangan bersedekap dan pandangan sinis andalannya.
"Jemput lo." Jawab cowok itu singkat.
"Gue bareng Aruna," Vivi masih berusaha berbicara baik-baik kepada cowok dihadapannya ini.
Tapi, baru saja Vivi mengeluarkan alibinya, seseorang datang menginstruksi pembicaraan mereka. Ketiganya mengernyit, sampai pemilik motor itu membuka helm full facenya. "GENTA?" kata Vivi dan Aruna kompak.
"Lo ngapain ke sini?" Vivi menanyakan hal yang sama. Melihat Genta yang hanya diam, Vivi lalu melirik ke kiri dan mendapati Aruna yang menunduk di sana.
"Hufftt ... gue seneng lo jemput Aruna. Tapi, asal lo tahu ... Lo Dateng di waktu yang ga tepat." Vivi berbicara dengan dramatis. "Ya udah Ar, lo bareng Genta aja," sambung Vivi.
"T- tapi lo gimana?" tanya Aruna.
"Santai! Angkot masih banyak. Udah cepet sana, kasian si Genta udah nungguin,'' Vivi mendorong bahu Aruna, agar ia segera menaiki motor Genta.
Dengan perasaan bersalah, Aruna pergi meninggalkan Vivi dengan cowok tadi.
"Vi, naik! Nanti telat," kata cowok itu.
Vivi hanya diam, tidak menyahut sama sekali. Ia justru berjalan melewati motor cowok itu.
Cowok itu segera mengikuti Vivi dari samping dengan memelankan laju motornya. "Vi, lo kenapa sih? Apa susahnya tinggal naik ke motor gue dan kita ke sekolah bareng," Cowok itu bertanya dari atas motornya.
Vivi menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap cowok itu. "Rakha, udah ya? Gue capek banget tiap hari diikuti mulu kayak gini. Ga lo, ga nyokap lo, sama aja! Segitu ga bisanya kalian biarin gue hidup bebas. Bahkan gue udah pindah sekolah pun, kalian tetap ngikutin gue." Vivi berbicara dengan nada yang terdengar lelah. Bahkan Rakha sampai diam tak berkutik mendengarnya. Jujur, Rakha lebih memilih Vivi yang memaki-makinya dibandingkan dengan Vivi yang berbicara seperti ini.
"Vi gue ..." Ucapan Rakha terpotong saat ada motor yang berhenti di depan mereka.
"Ini apa lagi, ya Tuhan?" Vivi mengacak rambutnya frustasi. Kenapa paginya begitu sial hari ini.
"Vi lo bareng gue aja!" Pemilik motor itu membuka helmnya.
"Alden?" Vivi mengernyit. Setelah itu, senyumnya merekah. "Benar-benar dewa penyelamat," batin Vivi. Vivi mengangguk dan segera menaiki motor Alden. Tanpa sepatah katapun, mereka meninggalkan Rakha yang masih membisu di tempatnya.
Jujur, Vivi merasa kasihan kepada saudaranya itu. Tapi, ia juga tidak boleh lemah dengan semua sikap baik Rakha akhir-akhir ini. Bagaimana jika ia hanya pura-pura, atau yang lebih parah ternyata ia disuruh mamanya untuk menyakiti Vivi.
Vivi menoleh sebentar, melihat Rakha yang masih berdiri di tempatnya. "Bodoh banget sih! Ngapain juga dia cuma diri di situ? Nanti kalau telat gimana?" gumam Vivi.
"Perhatian banget," sindir Alden. Ternyata ia mendengar perkataan Vivi. Vivi langsung mengatupkan bibirnya, lalu memukul dahinya pelan. Merutuki kebodohannya.
Alden dan Vivi telah sampai di sekolah. Namun, ternyata keduanya telat.
"Yah telat, gimana dong?" tanya Vivi. "Pulang aja, yuk?" lanjutnya.
Alden menggeleng mendengar saran Vivi. "Ya udah tunggu aja, bentar lagi juga dibukain pagarnya." Alden mengambil ponsel dari saku celananya dan mengetik pesan di sana.
"Huffft, ya udah deh." Vivi berjongkok dan memainkan ponselnya. Matahari cukup terik, hingga keringat mulai bercucuran di kening cewek berkulit putih itu. Alden yang melihat Vivi kepanasan dan menutup wajahnya dengan tangan berinisiatif berdiri di depannya. Melindungi Vivi dari sinar matahari. Vivi mendongak, lalu senyumnya merekah melihat perlakuan Alden.
Suara motor mengalihkan perhatian keduanya. Ternyata itu Rakha. Vivi refleks berdiri, melihat saudaranya itu. Sedangkan Alden hanya acuh dengan kehadiran Rakha.
"Kok bisa telat?" Tanya Rakha begitu ia turun dari motornya.
Vivi dan Alden saling tatap, seoalh berbincang tentang siapa yang akan menjawab pertanyaan basa-basi Rakha.
"Karena pagarnya udah ditutup." Jawab Alden dengan singkat. "Oj." Rakha tak kalah singkat.
Vivi melihat keduanya bergantian, sungguh ia tidak suka berada di situasi awkard ini. Untung saja, satpam sekolah segera datang dan membukakan pintu untuk mereka.
"Loh nak Vivi, nak Alden? Tumben kalian telat." Pak satpam bertanya saat mereka bertiga memasuki area sekolah.
"Macet pak," jawab Alden.
"Ohh, untung aja Nak Alden nge-chat bapak tadi. Kalau enggak? Mana bapak tahu kalian di sini." kata Pak satpam.
"Iya pak, masuk dulu ya pak." Alden dan Rakha mendorong motor mereka ke dalam agar tidak berisik, karena apel pagi masih berlangsung. Dan Vivi, ia mengekor keduanya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Depressed
Teen FictionMasa remaja adalah masa yang sulit. Banyak hal yang tidak sesuai ekspektasi. Bingung, takut, dan cemas menjadi hal yang biasa. Banyak hal yang memengaruhi kesehatan mental mereka. Setiap orang memiliki cerita dan masalah yang berbeda. Pilihannya han...