Aruna dan Vivi bingung harus mencari Luna ke mana. Mereka tidak tahu daerah ini, bagaimana kalau mereka nyasar? Nanti bukannya nyari, malah dicari.
"Gimana Vi? Kita nyari Luna ke mana?" tanya Aruna.
Vivi diam. Ia juga tidak tahu harus mencari ke mana. Vivi mengedarkan pandangannya. Matanya menyipit ketika melihat seseorang yang sepertinya ia kenal.
"Ril ... Ferril!" Vivi berteriak memanggil cowok yang ternyata adalah Ferril.
Ferril melambaikan tangannya, lalu menghampiri Vivi dan Aruna.
"Lo ngapain di sini?" tanya Vivi.
"Harusnya gue yang nanya, lo berdua ngapain di sini?"
"Jawab gue dulu!" kata Vivi datar.
Ferril menelan ludah. Ia menunjuk rumah bercat putih, dua rumah di samping rumah Luna.
"Lo tetangganya Luna?" tanya Aruna.
Ferril mengangguk. "Sekarang jawab pertanyaan gue!" katanya.
"Kita lagi nyari Luna Fer," Aruna menjawab pertanyaan Ferril.
Ferril mengernyit. " Emangnya dia kenapa? Kabur?" tanya Ferril. Vivi dan Aruna mengangguk, membenarkan pernyataan Ferril barusan.
"Kenapa kabur?" Ferril bertanya lagi.
Vivi melihat Aruna yang berdiri di sebelahnya. Ia tidak bisa menjelaskan alasan Luna kabur, karena ia sendiri masih butuh penjelasan.
Aruna yang risih dengan tatapan dua manusia itu hanya bisa menghela nafas pasrah. "Gue bakal jelasin. Tapi, sambil cari Luna. Gue takut dia kenapa-napa," Aruna melihat mereka, meminta persetujuan.
Vivi dan Ferril mengangguk. Merekapun mulai mencari Luna, dan Aruna mulai menceritakan alasan Luna kabur kepada kedua temannya itu.
"Jadi gini guys ..."
Vivi pergi ke toilet. Setelah buang air, ia pergi ke dapur untuk mengambil minumcukup. Vivi cukup lama di sana. Ia berdiri sambil memegang gelas berisi air es di tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk memainkan ponsel miliknya. Vivi terlalu fokus saat memainkan gawainya itu. Sehingga ia lupa waktu.
Pintu rumah Luna terbuka. Aruna dan Luna secara reflek melihat siapa yang datang.
"Wah ... Lagi belajar bareng, ya?" mama Luna mendekati mereka, disusul papanya dari belakang.
"Iya pa," jawab Luna seadanya.
"Ini siapa?" tanya wanita di samping papanya.
Luna segera berdiri, memperkenalkan dirinya. "Saya Luna om, tan. Saya temen sekelasnya Luna," Aruna mengulurkan tangannya.
Kedua orang tua Aruna menerima ukuran tersebut. " Nama yang bagus," puji mama Luna. "Perkenalkan Aruna, saya Tiana, mamanya Luna. Dan ini Harris, papanya Luna." Mama Tiana memperkenalkan diri kepada Aruna.
Aruna mengangguk, "Iya om, tante." jawab Aruna tersenyum.
"Ya udah, kalian lanjut gih belajarnya!" kata Mama Tiana.
Aruna kembali mengangguk. Ia kembali duduk di tempat semula dan mulai mengerjakan tugas yang hampir selesai itu.
Tanpa disangka, bukannya pergi ke kamar. Papa Harris justru mendudukkan dirinya di sofa, tepat di samping Luna.
"Om seneng banget ngeliat Luna mau belajar eksak gini." Papa Harris membuka pembicaraan.
Luna yang mendengar itu, langsung berubah moodnya. Ia menggenggam erat pulpen di tangannya. Luna yakin seratus persen, jika papanya akan membuat keributan di sini.
"I - iya om," Aruna menjawab pernyataan Papa Haris seadanya. Ia bingung, kenapa papanya Luna berkata seperti itu.
"Asal kamu tahu ya, Aruna. Luna itu susah banget dikasih tahu, keras kepala, dan mau menang sendiri. Dia juga ga pernah dengerin apa kata orang tua, padahal kan om sama tante hanya ingin yang terbaik buat dia." Pala Luna melanjutkan kalimatnya.
Aruna terdiam, tidak tahu harus bereaksi apa. Sedangkan Luna, ia merasa kesal, marah, dan malu sekarang. Bagaimana tidak? Temannya ada di sini, tapi papanya malah membuka topik pembicaraan yang akan membuat mereka berdebat.
"Pa ... ke kamar aja, yuk?" Mama Tiana mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin orang lain melihat keluarganya ribut.
"Bentar ma," jawab Papa Harris. "Luna, kamu seharusnya seperti ini! Belajar! Bukan malah gambar-gambar ga jelas, buang-buang waktu!" Papa Harris melanjutkan kalimatnya.
Luna menghela napas berat. Sedetik kemudian merubah ekspresi, dengan senyum terpaksa, Luna berusaha meyakinkan papanya agar diam. Dan membahas masalah ini nanti, saat tidak ada orang di rumah.
"Pa ... Kita bicara lagi nanti, ya? Luna kan lagi ngerjain tugas." kata Luna.
"Kok kesannya, kamu ga suka papa ingetin? Papa kek gini itu, karena pala ingin yang terbaik buat kamu!" Suara papa Harris meninggi. Beliau bahkan telah berdiri.
Luna dan Aruna secara reflek ikut berdiri.
"Iya pa, tapi kita bahas nant__"
"Ga ada nanti-nantian! Biar temen kamu tahu, kalau kamu itu ga bisa dibilangin. Papa nyuruh kamu belajar yang bener, biar bisa nerusin perusahaan papa nantinya. Eh ... Kamu malah asyik gambar-gambar ga jelas!" Papa Harris membentak Luna.
"Jadi, papa mau ngingetin Luna, atau mau mempermalukan Luna di depan temen Luna?" Luna berusaha tenang.
"Kamu ga punya sopan santun, ya? Bicara gitu ke orang tua!"
"Pa__"
"Kamu itu harus ngikutin apa kata papa! Kamu harus belajar yang rajin, yang bener! Karena kamu harus nerusin papa untuk menjalankan perusahaan kita!"
"Pa, tapi aku ga mau ... Aku punya mimpi sendiri dan papa ga bisa maksa aku seenak hati papa!"
Plakk
Papa Harris menampar pipi mulus putrinya. Dan di saat bersamaan, Vivi datang dengan gelas di tangannya.
Vivi yang shock melihat apa yang terjadi, tak sengaja menjatuhkan gelas itu hingga pecah.
Semua atensi orang beralih kepadanya. Luna yang malu memutuskan untuk pergi dari sana.
"Jadi gitu guys ceritanya. Gue juga ga nyangka kalau Luna yang ceria itu, ternyata punya masalah yang, ya ... cukup berat." Aruna mengakhiri ceritanya.
"Kasian juga tu anak," kata Ferril.
Aruna mengangguk. Membenarkan perkataan Ferril.
Mereka terus berjalan mengelilingi komplek. "Ya elah ... Itu anak kabur ke mana sih?" Ferril menggerutu. Pasalnya, hampir setengah jam mereka mengelilingi komplek ini, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Luna.
Aruna menghela napas. Ia menunduk, memegang lututnya. Ia juga sedikit lelah.
"Itu Luna!" Seru Vivi.
Ferril dan Aruna segera mengikuti arah yang Vivi tunjuk. Dan benar saja, Luna ada di sana, di bawah pohon.
"Ya udah... susulin, yuk!" kata Aruna. Mereka mengangguk.
Saat ingin berlari ke tempat Luna. Ponsel Aruna tiba-tiba berdering, menghentikan langkah ketiganya.
Aruna mengambil ponsel dari saku roknya, "Mama." kata Aruna. Ia lalu mengangkat panggilan suara tersebut.
"Iya ma, Aruna pulang." kata Aruna sebelum menutup telfonnya.
"Duh guys, gue harus balik nih." Kata Aruna dengan wajah tidak enak.
"Ga papa," Vivi mengangguk, meyakinkan Aruna jika ia sebaiknya pulang saja. "Fer, lu anter Aruna balik ya!" sambing vivi. Ferril hanya mengangguk, menolak pun ga akan ada gunanya.
"Ga usah vi__"
Vivi menghentikan kalimat Aruna dengan tatapannya.
Aruna menghela nafas. "Ya udah deh, gue balik duluan, ya?" kata Aruna. Vivi mengangguk dan melambaikan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Depressed
Teen FictionMasa remaja adalah masa yang sulit. Banyak hal yang tidak sesuai ekspektasi. Bingung, takut, dan cemas menjadi hal yang biasa. Banyak hal yang memengaruhi kesehatan mental mereka. Setiap orang memiliki cerita dan masalah yang berbeda. Pilihannya han...