"Mulai sekarang Putri akan tinggal di sini ya. Ini rumah Putri yang baru, nanti Putri juga bakal punya banyak teman-teman yang sayang sama Putri." Shanin tersenyum dan mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh gadis itu.
"Makasih ya kak Shanin," kata Putri sambil memeluk Shanin dengan erat. Shanin tersenyum dan mengelus punggung Putri dengan lembut.
"Yaudah ayo Putri. Bunda Hamidah antar ke kamar sekarang ya biar Putri bisa istirahat," sambung seorang wanita paruh baya yang merupakan salah satu pengurus panti.
Shanin melepaskan pelukannya dengan lembut. "Insyaallah, kakak akan sering ke sini buat main sama kamu," ucapnya.
Putri dan Bunda Hamidah pun saling bergandengan menuju kamar. Shanin hanya berdiri dan memperhatikan mereka dari kejauhan. Dia tahu betul bagaimana rasanya hidup tanpa kedua orang tua. Namun Shanin lebih beruntung dari mereka karena kedua orangtuanya berasal dari keluarga yang berada. Pamannya juga dengan sabar membimbing Abram yang saat itu masih duduk di bangku kuliah untuk menjalankan Perusahaan tekstil peninggalan Ayahnya. Hanya saja seiring Shanin dan Abram bertumbuh dewasa, Pamannya memutuskan untuk tinggal di kampung halamannya di Jogja bersama anak perempuannya.
"Shanin udah? Ayo kita pulang. Saya masih ada jadwal praktek," kata Haikal yang tiba-tiba datang bersama Bunda Bintari sang pemilik Panti Asuhan ini. Terlihat bahwa usianya sudah sedikit tua. Beberapa kerutan juga sudah nampak di dahinya.
"Iya, sebentar." Shanin membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop berwarnan coklat. Kemudian memberikannya kepada Bunda Bintari.
"Bunda ini saya ada sedikit rezeki untuk beli beberapa keperluan anak-anak di Panti ini," ucapnya.
"Wah, makasih ya nak. Semoga berkah," jawab Bunda Bintari tersenyum dan menerima uang tersebut.
"Aamiin."
Setelah itu pun Shanin dan Haikal berpamitan dan pergi dari Panti Asuhan Kasih Bunda.
****
Pulang sekarang!
Shanin terkejut saat membuka pesan dari Abram yang terlihat marah. Tidak lama kemudian Abram mengirim sebuah dokumen yang berisi email dari Universitas Kesatuan Bangsa. Shanin mendadak tegang dan memberanikan diri membuka pesan tersebut.
"Jadi kamu mau saya antar ke kampus atau ke mana?" tanya Haikal sambil menyetir.
Shanin tidak mendengarkan perkataan Haikal dan sibuk membaca email tersebut. Dia terkejut dan langsung mematikan ponselnya. Ternyata email tersebut berisi surat yang menerangkan bahwa dia telah di drop out dari kampus. Shanin memijat dahinya dan tidak tahu harus menjelaskan apa kepada Abram. Kakaknya itu pasti marah besar.
"Kamu kenapa kok panik?" tanya Haikal lagi.
"Shanin?" ucapan Haikal mengagetkan Shanin.
"Eh iya?"
"Mau diantar ke kampus atau ke rumah?"
"Ru..rumah aja kak," jawab Shanin berusaha menghilangkan rasa paniknya.
Sejak awal Shanin memang tidak berniat untuk melanjutkan kuliah di jurusan management bisnis. Dia selalu absen dari kelas tanpa sepengetahuan kakaknya. Dan selama tidak masuk kelas, Shanin selalu mengalihkannya untuk ke kajian atau sekedar pergi ke Perpustakaan untuk membaca buku favoritnya. Baru setelah kembali ke toko kue, dia akan mengatakan bahwa seolah-olah dia telah selesai menghadiri kelas. Nilai ujiannya juga selalu rendah, dan tidak pernah mengumpulkan tugas. Shanin juga selalu menyembunyikan setiap surat peringatan yang diberikan untuknya. Kini Shanin semakin merasa bahwa dia tidak pantas untuk Haikal.
Sesampainya dirumah, Abram sudah menunggu di depan terasnya dengan ekspresi menahan amarah. Haikal heran kenapa Shanin tidak juga keluar dari mobilnya. Karena melihat Shanin yang hanya terdiam melamun, akhirnya Haikal memutuskan untuk membukakan pintu mobil untuknya.
"Shanin! Udah sampai," ucap Haikal setelah membuka pintunya.
"Oh. Iya-iya." Shanin mengatur nafasnya sebelum akhirnya keluar dari mobil Haikal.
Mereka berdua berjalan berdampingan menuju teras rumah. Lebih tepatnya untuk menghampiri Abram yang masih berdiri di tempatnya.
"Assalamualaikum," ucap Shanin sambil mengulurkan tangan. Namun bukannya menjawab salam dari Shanin, Abram malah langsung melayangkan sebuah tamparan keras kepada adiknya tersebut.
PLAKK...
Tubuh Shanin sampai terlempar ke arah kiri karena kerasnya tamparan itu. Untungnya Auliya yang baru keluar rumah segera berlari dan menahan tubuh Shanin agar tidak terjatuh. Haikal pun terkejut melihat perlakuan kasar Abram, dan bertanya-tanya apa yang terjadi.
"Kamu jangan kasar gitu dong mas!" bentak Auliya kepada suaminya.
Namun Abram tidak mempedulikan perkataan istrinya dan malah semakin keras meneriaki Shanin. "Ulah apa lagi yang mau kamu buat?!! Kemarin nabrak orang! Sekarang kakak harus dapat surat kalau kamu di drop out dari kampus!" Abram menaruh surat tersebut di atas meja sambil menggebrak meja di teras depan tersebut dengan keras.
"Sejak kapan kamu jadi anak pembangkang?!!"
Shanin hanya terdiam sambil menahan matanya yang sudah berkaca-kaca agar tidak mengeluarkan tangis. Tapi akhirnya butiran air mata itu menetes membasahi pipinya.
"Sabar bram," ucap Haikal menenangkan Abram. Meskipun dia sendiri juga terkejut kalau Shanin di DO dari kampus. Semua tidak menyangka jika perempuan berpenampilan tertutup itu ternyata diam-diam adalah seorang pembangkang.
"Haikal?! Apa lo yakin masih mau nikahin dia?! Gue aja ngerasa udah gagal ngebimbing dia!" kata Abram lagi dengan keras.
"Kakak ngebimbing aku cuma sesuai kemauan kakak! tanpa peduli aku bahagia atau enggak! Egois." Merasa sudah muak mendengarkan kemarahan Abram. Akhirnya Shanin meninggalkan mereka semua dan berlari keluar dari gerbang rumahnya. Haikal yang merasa khawatirpun langsung berlari mengejar Shanin.
.
.
.
.
Next?? --->
Sebelumnya makasih buat yang udah baca cerita ini. :)) Jangan lupa vote&comment ya:*
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Halal Haikal
Teen FictionShanin sangat terkejut bahwa laki-laki yang datang melamarnya adalah Dr. Haikal Fahreza Ibrahim, ketua OSIS yang dulu sangat dia kagumi. Dulu maupun sekarang, Haikal masih terlalu sempurna untuk Shanin. Haikal yang dewasa dan Shanin yang kekanakan...