💞💞💞💞💞💞💞💞
JOVITA
Kerja sewajarnya Kalo sakit, mati, keluarga yg sedih. Kantor mah tinggal cari karyawan lagi.
Aku hanya bisa tersenyum geli saat membaca sebuah kutipan yang tertulis di sticky note yang tertempel di ujung layar komputerku.
Sebuah pesan yang beberapa waktu lalu di tulis oleh seorang sahabat sebagai pengingat agar aku tidak terlalu loyal dengan pekerjaanku saat ini.
Yang membuat aku geli tentu saja bukan kutipan itu, melainkan orang yang menuliskannya. Bagaimana bisa seseorang yang jam kerjanya lebih hectic daripada aku, memberi pesan seperti itu? Rasanya dia seperti sedang memperingatkan dirinya sendiri.
Namanya Khaylila, dokter cantik dan sedikit judes yang bekerja satu instansi denganku. Walaupun bekerja di tempat yang sama, bukan berarti aku dokter juga, aku seorang staf HRD yang baru satu setengah tahun lalu bergabung di rumah sakit swasta ini, atas rekomendasi dari Lila juga.
Aku dan Lila sudah kenal semenjak SMA, mendeklarasikan diri sebagai sahabat karena sama-sama suka menonton film dan travelling. Hobi sejuta umat banget ya?
Ya begitulah, entah dulu bagaimana awal mulanya, yang jelas dia orang terbaik dalam hidupku setelah keluarga.
"Permisi Bu Ovi, butuh nambah teh lagi? Atau mau ada tambahan makan malam?"
Pandanganku teralihkan pada seorang pramusaji yang berdiri di tengah pintu, salah satu staf dapur yang ramah dan sudah ketiga kalinya balik ke lantai tiga ini hanya untuk menawariku teh untuk menyemangati lemburku malam ini.
Aku balas senyum ramahnya, "Nggak usah deh, Mbak Erni, saya sebentar lagi pulang kok,"
Mbak Erni tersenyum sekaligus mencibirku, "Pas saya datang ke sini dua jam yang lalu, bilangnya juga sebentar lagi pulang." ujarnya.
Kulirik jam dinding dan ternyata benar sudah empat jam dari jam pulang, dan aku masih di sini.
Kedatangan Mbak Erni menyadarkanku bahwa aku sudah terlalu lama menyendiri di sini. Bukan maksud menyendiri juga, tapi di hari menjelang akhir bulan seperti ini tentu kerjaanku banyak sekali.
Aku memakai kembali blazer biru dan mematikan semua elektronik, lanjut mendatangi ruangan dimana beberapa staf divisiku berada, untuk menyuruh mereka pulang juga.
"Jojoooo!"
Teriakan membahana yang membuat aku urung menekan tombol lift dan mengharuskan untuk menoleh.
Seharusnya tidak perlu repot-repot menoleh, dari suaranya saja aku sudah bisa menebak siapa. Dan benar saja, detik berikutnya Lila sudah menepuk bahuku sambil tersenyum lebar. "Tumben jam segini pulang, Vi?" tanyanya dengan nada dan ekspresi yang kental akan ejekan.
Lila langsung tertawa melihat aku yang hanya meliriknya, kemudian merangkul pundakku, ikut masuk ke lift.
"Baru selesai operasi?" tanyaku.
Dokter berambut lurus itu mengangguk sambil mulutnya sibuk mengunyah roti sobek. Tanpa diminta juga, Lila menemaniku hingga ke parkiran, dan ikut masuk ke mobilku tanpa permisi.
Sebelum aku menghidupkan mesin, aku menatap dia dengan penuh tanya. "Bukannya kamu jaga malam ya?"
Lila mengerutkan keningnya, sedetik kemudian dia mencubit pipiku. "Makanya kalau kerja jangan kayak psikopat gitu, punya hp juga jangan jadiin pajangan aja!" jawabnya dengan menggebu-nggebu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Informed Consent
General Fiction"Setiap hal yang terjadi atas persetujuan kita, ada andil kita di dalamnya. Jangan mudah menyalahkan takdir jika ada yang tidak sesuai keinginan, jangan buru-buru menyebutnya ujian, karena bisa saja yang sedang terjadi adalah ganjaran dari apa yang...