AKMAL
Satu kata sakral yang merubah hidup gue.
Merubah ke arah lebih baik tentunya. Gue masih mencoba mencerna hidup gue yang tadi pagi berubah drastis hanya dengan satu kalimat dan di sambung satu kata 'sah', menjadikan status gue berubah, yang semula hanya seorang gelandangan cinta sekarang menjadi orang paling bahagia karena bisa menikahi wanita yang gue cintai, Jovita Hapsari.
"Jangan gerak-gerak, Mal! Ini susah masangnya!"
Gue meringis pelan karena omelan Sang Penata Rias yang tak lain adalah sepupunya mama.
"Ovi nggak akan hilang! Nggak usah di lihatin terus!" lanjutnya.
Gue kembali tertawa begitu juga Ovi yang ikut tertawa sambil melirik gue lewat pantulan cermin, dia tidak bisa banyak bergerak karena sedang di rias juga untuk persiapan resepsi siang ini.
Gue dan Ovi sudah cukup bahagia dengan pernikahan ini, maka dari itu kita berdua tidak keberatan sama sekali ketika keluarga Ovi yang kental sekali darah jawanya, meminta agar semua prosesi pernikahan memakai adat Jawa, beruntung juga keluarga gue tidak mempermasalahkannya.
"Ini apa aja sih yang dipakai, Bude? Perasaan banyak amat." tanya gue ketika menyadari Bude Uni sudah selesai memakaikan baju pengantin dengan aksesoris yang banyak banget di tubuh gue.
Bude Uni memukul lengan gue karena sejak tadi gue nggak bisa diam menanyakan apapun yang dipakaikan ke gue, sebenarnya gue takjub aja dengan pakaian adat Jawa ini, bagus banget, tapi lumayan ribet.
"Ini namanya Kanigaran, biasa berwarna hitam berbahan beludru terus bawahannya namanya kain dodot. Kanigaran memiliki nilai dan makna yang sangat tinggi, sering dipakai kaum bangsawan Jawa." jawab bude.
"Pantes saya merasa seperti raja, Bude! Gagah banget."
Kini beberapa orang yang ada di ruangan ini kompak mencibir kesombonganku. Tapi beneran, gue merasa gagah banget ketika melihat ke cermin, sungguh negara ini kaya akan budaya.
"Kalau keluarga raja biasanya lebih sering pakai yang solo basahan, kemarin kamu nggak mau!" ujar bude lagi.
"Yang nggak pakai baju kan? Ogah lah, Bude! Masa pundak istri saya mau dipamerin!"
Ruangan ini kembali ramai karena tawa, tak terkecuali Jovita yang hanya bisa heran lewat tatapan matanya. Maklum lah, gue nggak rela banget kalau Jovita hanya pakai kemben kayak gitu, dan maklum juga, gue kalau lagi bahagia suka over.
Gue selesai lebih dulu dan hanya bisa pasrah ketika Bude Uni mengajak gue pergi ke kamar sebelah, kamar di mana keluarga gue berkumpul, katanya gue harus pisah dulu sebelum nanti jalan berdua bareng Ovi ke pelaminan.
"Ya Tuhan, adikku kok ganteng banget ya!" pekik Amanda ketika melihat gue masuk dengan pakaian dan riasan lengkap.
"Jalannya yang berwibawa dikit deh, Mal! Jangan kayak orang habis sunat gitu!" sahut papa.
"Susah, Pa! Nanti kalau udah sampingan ama istri pasti berwibawa dengan sendirinya!"
Mereka kompak menyorakki gue, selanjutnya adalah momen haru di mana tiba-tiba mama memeluk gue sambil menangis, disusul papa dan Amanda. Gue benar-benar merasa di titik paling sempurna di hidup gue.
"Jadi suami yang baik dan bertanggung jawab ya, Dek! Ingat pesan Mama kemarin!" ujar mama.
Gue mengangguk dan berterimakasih atas kasih sayang mama sampai detik ini, gue juga akan inget terus nasehat mama yang jika di ketik, bisa jadi lima puluh halaman sendiri.
Setengah jam kemudian, prosesi adat di mulai. Berawal dari gue yang mendatangi tempat resepsi bersama keluarga besar gue, nggak semua bisa ikut karena memang masih dibatasi jumlah tamunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Informed Consent
Fiksi Umum"Setiap hal yang terjadi atas persetujuan kita, ada andil kita di dalamnya. Jangan mudah menyalahkan takdir jika ada yang tidak sesuai keinginan, jangan buru-buru menyebutnya ujian, karena bisa saja yang sedang terjadi adalah ganjaran dari apa yang...