Chapter 4 : Prokes 6M

18.8K 2.1K 46
                                    

JOVITA

"Vi, udah sedia paracetamol berapa?"

Bu Martha berisik sesaat sebelum rapat diakhiri. Hari ini seperti yang sudah rutin dilakukan, diadakan rapat umum, semua civitas rumah sakit yang sedang tidak jaga shift di undang tanpa terkecuali.

Agendanya penguatan kembali komitmen menjalani visi dan misi, evaluasi layanan dan terakhir tambahan.

Nah tambahan ini yang bakal bikin Tim Bu Martha konsumsi paracetamol berhari-hari, termasuk aku yang kini duduk di samping beliau.

"Udah saya siapin satu box, Bu!" bisikku.

Bu Martha tersenyum tipis, senyumnya seakan mengisyaratkan bahwa setelah ini kami akan jadi orang yang paling populer di seantero rumah sakit ini.

Sebelum mengumumkan berita terakhir, Bu Martha menarik napas dalam. "Untuk pengumuman tambahan, Dengan berat hati kami sampaikan kebijakan baru dari pemangku yayasan bahwa per tanggal 21,"
Bu Martha sengaja menjeda untuk mengisi kembali mental. ".. tidak ada uang lembur bagi karyawan yang masuk di hari libur, sebagai gantinya, akan kami ganti dengan uang makan senilai dua puluh ribu." lanjut beliau.

Dan benar saja seperti yang sudah-sudah, aula utama rumah sakit ini langsung riuh, ada yang teriak ada yang menyoraki, ada yang diam saja karena syok.

Salah seorang pegawai mengangkat tangannya untuk meminta izin memberikan tanggapan. "Maaf Bu, kami tau keadaan sedang seperti ini, banyak orang terdampak. bagaimana dengan nasib kami yang pelayanan, Bu? Kami harus mengorbankan waktu libur yang seharusnya bisa kumpul dengan anak dan istri, tapi harus tetap kerja. Kemarin kita sedikit terhibur dengan adanya yang lembur, dan sekarang? Uang dua puluh ribu dapat apa Bu? Mending sekalian tutup aja rumah sakit ini di hari libur!"

Beberapa yang lain langsung teriak setuju. Aku tetap duduk anteng menjaga wibawa tanpa menunjukkan ekspresi terpengaruh, selayaknya yang dilakukan Bu Martha.

Itu bukan karena kami sombong dan nggak peduli karyawan ya! Tapi itu trik yang Bu Martha ajarkan agar kita tetap tampil wibawa di depan karyawan meskipun dalam hati kita juga tetap perang batin, kasihan dengan kebijakan yang menyusahkan sebagian besar karyawan.

Dan seperti yang sudah biasa terjadi, Bu Martha selalu sukses tampil wibawa untuk menjawab semua protes dari karyawan. Hingga akhirnya rapat ditutup dengan damai meskipun aku yakin teman-teman karyawan belum terima.

Aku berjalan bersama Bu Martha menuju ruangan, beliau tetap berjalan dengan penuh wibawa, tetap menyapa karyawan yang berpapasan dengan ramah. Tapi begitu masuk di ruanganku, beliau langsung mengunci pintu dan menghempaskan tubuh di sofa.

"Oviiiii... Mau meledak kepala saya!" keluh beliau.

Selanjutnya Bu Martha tertawa pelan sambil memegang kepalaku layaknya anak sendiri. Bukan tertawa bahagia, tapi tertawa miris. Aku lumayan dekat dengan beliau, terkadang beliau bisa seperti mamaku sendiri.

"Duh Vi, nasib kita kok gini amat ya! Nggak selesai-selesai jadi bulan-bulanan orang sekantor! Setiap ada kebijakan dari atasan kita yang harus jadi tameng menghadapi karyawan. Kalau kinerja karyawan menurun gara-gara kebijakan yang nggak sesuai kita juga yang dituntut atasan. Kita ini kayak bola nggak sih, Vi? Di tendang kesana kemari."

Aku membalasnya dengan tertawa pelan lalu memijit pundak beliau. "Kata Bu Martha sendiri kita harus melakukan apapun pekerjaan dengan sepenuh hati, nanti pasti akan ada balasan kebaikannya sendiri. Bu Martha udah selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk kantor ini. Kalau mau selesai ya jalan satu-satunya resign, Bu! Tapi kalau saya belum mau, masih pengin ngumpulin uang buat beli jet pribadi!"

Informed ConsentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang