Tak pernah terbayangkan sebelumnya aku akan bekerja di rumah sakit, awalnya aku sempat menolak ketika Lila menawarkan kerjaan ini. Bayanganku tentang rumah sakit udah horor banget untuk ukuran aku yang tidak begitu bisa melihat darah, ditambah bau obat-obatan yang khas, yang seketika membuat mual.
Tapi untungnya setahun bekerja di rumah sakit perlahan membuat aku mulai terbiasa mencium bau obat atau bahan-bahan medis meskipun efek mual dan pusingnya masih terasa. Atau ketika saat aku berjalan di sekitar rumah sakit tiba-tiba bertemu perawat yang sedang berlari mendorong bed pasien yang berlumuran darah. Awal mulanya bisa langsung keluar keringat dingin campur mual, tapi sekarang pemandangan seperti itu mulai terbiasa di mataku.
Memang Segitu antinya aku dengan obat dan rumah sakit, jika terpaksa tubuh sedang sakit, aku lebih ngilu membayangkan minum obatnya daripada merasakan sakit itu sendiri, maka sebisa mungkin aku selalu menjaga kesehatan, apalagi ditengah kerjaan yang kadang ampun-ampunan banyaknya.
"Hari minggu jangan malas-malasan, sempatkan olahraga sebentar terus makan yang bergizi, jangan kebanyakan junkfood!"
"Iya, Mama! Ini Ovi juga lagi jogging, kurang rajin apa aku ini? Hari minggu, di pagi buta, di saat Mama masih bergulung selimut, aku udah lari,"
Terdengar tawa renyah dari ujung telepon ini, tawa mama yang seketika membuat aku rindu, sudah dua minggu aku belum pulang ke sana, kerjaan lagi menggila banget.
"Ya sudah, lanjut joggingnya, Sayang! Jangan lupa sarapan yang bergizi!"
Sekali lagi aku mengiyakan pesan mama yang sudah berkali-kali diucapkan, kemudian memutus sambungan dan melanjutkan acara jogging pagi ini.
Dan sesuai pesan mama, setelah lari dua kali putaran aku memutuskan untuk berhenti di kedai bubur ayam, ini termasuk makanan bergizi kan?
Tapi sepertinya aku harus mencari menu lain, semua kursinya penuh sedangkan aku harus buru-buru pulang. Walaupun hari minggu, siang nanti aku harus ke kantor, ada kerjaan mendadak dan baru tadi malam Bu Marta—atasanku—memberi tau. Kalau Lila tau, pasti ngomel seharian, tau hari minggu aku masih harus ngantor.
Di saat aku memutuskan untuk pergi, mataku bertatapan dengan seseorang. Beberapa detik dia mengamatiku baru akhirnya tersenyum dan mendekat. "Lo Jovita kan? Temannya Rafa?" tanyanya.
"Iya,"
"Sorry gue agak-agak lupa." ujar cowok yang dua hari lalu secara tak sengaja makan bareng.
"Nggak apa-apa, gue juga nggak lihat ada lo di sini tadi."
Akmal memindai sekitar tempatku berdiri, "Lo mau makan tapi penuh ya? Gue juga sih, mau bareng cari sarapan lain nggak?"
Aku cukup terkejut dengan ajakannya, cowok ini kayaknya tipe yang suka to the Point.
"Eh tapi lo sendirian kan ini? Sorry gue nerocos aja ngajak lo sarapan bareng. Nanti tiba-tiba gue di bogem dari belakang kan panjang urusannya." ucapnya lagi.
Aku menertawakan dia yang sibuk sendiri Menganalisia padahal belum juga aku jawab.
Dan setelah aku mengiyakan, di sinilah kita sekarang, sarapan nasi uduk di tempat yang agak jauh dari lokasi jogging.
Makan bareng Akmal bukan sesuatu yang buruk juga, dia bisa menjadi teman ngobrol dan sarapan yang seru. Banyak hal yang tanpa aku minta dia ceritakan, sedikit cerewet orangnya.
"Eh ini kalau lo terganggu dengan kicauan gue bilang aja, sorry, gue kebiasaan ngomong banyak jadi nggak bisa diem. Sorry ya kalau lo nggak nyaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Informed Consent
Fiction générale"Setiap hal yang terjadi atas persetujuan kita, ada andil kita di dalamnya. Jangan mudah menyalahkan takdir jika ada yang tidak sesuai keinginan, jangan buru-buru menyebutnya ujian, karena bisa saja yang sedang terjadi adalah ganjaran dari apa yang...