JOVITA
"Berdasarkan pengamatan ku yang nggak pernah salah, ini punggung berondong manisku, dan ini punggung Akmal. Nggak salah lagi, ini jelas potongan rambut Akmal, nanti aku cari tau Akmal punya celana kolor warna ini enggak."
Sama sekali aku enggan memperdulikan Lila yang sejak tadi heboh mengamati postingan di feed instagram milik Jovan yang di unggah beberapa menit yang lalu. Sekilas tadi aku juga melihat postingan itu, Jovan memposting fotonya dan Akmal yang sedang mengamati sunset di tepi pantai minggu lalu. Aku hafal betul, karena aku yang mengambil gambar itu dari belakang mereka agar View sunsetnya terlihat.
Satu hal yang aku amati, Jovan mengetag akun instagram Akmal, sudah saling follow aja mereka.
Lila mencomot cemilan yang sedang aku nikmati sambil nonton film di kamar. Malam ini Lila mendadak pulang ke rumahku, katanya kangen. Antara percaya nggak percaya sih.
"Jujur deh sama aku, kamu kemarin liburan bareng Akmal kan?"
"Iya, nggak sengaja. Mendadak juga itu rencananya."
Lila langsung berteriak heboh sambil lompat-lompat di kasurku, kadang aku benar-benar nggak habis pikir, ada ya jenis dokter yang kayak gini?
"Gercep banget itu Si Akmal padahal baru kemarin aku kasih wejangan." Lila langsung menutup mulutnya merasa keceplosan ketika aku langsung menatapnya penuh selidik.
Aku mengambil bantal dan langsung memukulnya beberapa kali sebagai tanda protes karena apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Pasti Lila udah ngomong aneh-aneh sama Akmal.
Bukannya marah, Lila malah tertawa puas. "Jangan nethink dulu dong! Aku cuma bilang kamu itu orangnya terlalu baik mendekati bego, jadi jangan macem-macem. Atau aku sendiri yang akan suntik mati dia."
Lila tetaplah Lila, orang yang paling nyebelin sekaligus orang yang paling aku sayang. Dia selalu menjaga aku dengan caranya. Tapi kali ini aku benar-benar harus membuat perhitungan sama dia.
"Kamu malu-maluin, Lil! Ngapain ngomong gitu sama Akmal? Memang Akmal ada tujuan apa sama aku? Kita beneran hanya sekedar teman ngobrol."
Aku semakin kesal saat Lila malah bertepuk tangan sambil tertawa. "See? Sejak kapan seorang Jovita punya pikiran malu di depan cowok? Biasanya kamu itu paling nggak peduli anggapan cowok kalau memang cowok itu nggak berarti apa-apa buat kamu."
Lila memegang kedua sisi wajahku dan menggerakkannya beberapa kali. "Dengerin kata-kataku! Lupain masa lalu kamu dengan cowok brengsek itu! Jangan bego lagi, pengalaman pertama kamu jatuh cinta memang buruk, tapi jangan terus-terusan menghukum diri kayak gini. Hidup kamu harus terus berjalan, kamu berhak bahagia."
Setelah sekian lama, akhirnya aku mengakui bahwa aku nggak bisa bersikap sok kuat lagi di depan Lila. Tatapan Lila berubah jadi sendu saat tangannya basah oleh air mataku. Dia mengusapnya lalu memelukku. "Sorry kalau aku tadi terlalu maksa kamu. Jangan pikirin omonganku lagi tentang Akmal, aku nggak mau bikin kamu mikir berat. Soalnya kamu ngerepotin kalau udah mikir berat, pasti sakit. Aku hanya terlalu semangat pengin lihat kamu bisa membuka hati lagi, bisa tertawa lepas lagi, dan aku pikir Akmal orang baik, aku udah banyak dengar cerita dari Rafa. Tapi sumpah, aku nggak akan ngomong tentang Akmal lagi, kalau bikin kamu terbebani."
"Terimakasih Lil," Hanya itu yang bisa aku katakan, Lila berhasil membuat aku jadi cengeng malam ini. Tapi tanpa aku sadari hatiku jadi lega setelah bisa menangis sepuasnya di pelukan Lila. Selama ini aku selalu menahan agar tidak menangis, dan rasanya memang sesak di dada.
"Hadeeeh, piyama gue basah!" keluh Lila setelah lima belas menit berlalu hanya dengan suara isak tangisku.
Reflek aku memukul lengannya, dan selanjutnya kita tertawa bareng. Lila sudah seperti saudara perempuan bagiku, dia sahabat yang paling awet, yang selalu ada untukku hingga detik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Informed Consent
Ficción General"Setiap hal yang terjadi atas persetujuan kita, ada andil kita di dalamnya. Jangan mudah menyalahkan takdir jika ada yang tidak sesuai keinginan, jangan buru-buru menyebutnya ujian, karena bisa saja yang sedang terjadi adalah ganjaran dari apa yang...