11 - Kecurigaan Anneth

357 39 4
                                    

Ponselnya berbunyi lagi. Namun, Betrand mengabaikan suara notifikasi telepon yang masuk.

Fokus Anneth yang sedang latihan mendadak buyar. Dia mendekat ke arah Betrand yang tertidur di studio itu dengan kesal.

"Nyo, bisa gak sih teleponmu tuh diangkat aja?" tanyanya, dengan kesal. Dia menggoyang-goyangkan lutut Betrand.

Zara dan Naura memperhatikan mereka dari jauh. Keduanya juga merasa terganggu sebenarnya dengan adanya suara telepon masuk yang diabaikan seperti itu.

Betrand terbangun. "Apa sih?"

"Hapemu bunyi dari tadi. Emang segitu kebonya apa kalau kamu tidur?" sindirnya.

Betrand mengusap wajahnya. Dia masih mengantuk sebenarnya. Menemani Anneth latihan yang ternyata ngaret satu jam membuatnya jadi lebih lelah.

Betrand mengecek ponselnya. Dari teman lesnya, Alifa.

"Cewek lain?" Anneth mulai curiga saat melihat layar ponsel Betrand yang menunjukkan nama seorang perempuan.

Betrand berdecak. Dia mulai kesal kalau Anneth berprasangka yang tidak benar. "Dia cuma teman les aku, Anneth."

"Ya terus ngapain dia pakai nelpon segala coba?" tanya Anneth, masih dengan kesal. "Ketahuan kan sekarang begitu latihan kita ngaret satu jam. Baru kelihatan deh aslinya kamu kayak apa."

Pria itu makin sebal dengan semua kecurigaan Anneth. "Neth, Alifa itu cuma teman les, nggak lebih." Dia melirik ke Naura dan Zara yang memperhatikan pertengkaran mereka.

Tidak ingin mendengarkan kecurigaan Annet yang makin menjadi-jadi, Betrand mencangklongkan tasnya. Dia mulai muak.

"Aku pergi," ujarnya. Dia menoleh ke Naura. "Nau, ntar kabarin aja kalau sudah selesai latihan," katanya ke Naura.

Anneth menoleh ke Naura. Adik kelasnya itu hanya mengangguk dengan ekspresi kebingungan. "Oh gitu? Sekarang malah ke Naura ya?"

Kecurigaan gadis berambut sebahu itu mulai makin menjadi-jadi. "Selain Alifa juga ada Naura? Iya?"

Betrand kembali mendekat ke Anneth. Dia mengacungkan jarinya ke pacarnya. "Neth, kecurigaan lo gak benar sama sekali."

Anneth balas menantang tatapan tajam Betrand. "Ya terus apa? Kenapa gak mau jelasin siapa Alifa, dan kenapa dia nelpon kamu berkali-kali?"

Betrand tidak mau menjawab. Dia turunkan telunjuknya yang tadi mengacung di depan wajah Anneth. "Nanti aku jelasin." Dia berbalik.

"Kenapa nggak sekarang aja? Mau bikin skenario dulu?"

Betrand mendengus kesal. Dia tidak mau memperpanjang konfliknya dengan Anneth. Dia langsung buru-buru pergi, tinggalkan pacarnya bersama Zara dan Naura.

Anneth terduduk, badannya lemas. Matanya mulai merah. Air matanya mulai mengaburkan pandangannya.

Zara buru-buru mendekat, mengusap bahu Anneth yang mulai berguncang. Dia juga cukup kaget dengan pertengkaran sahabatnya dengan Betrand.

Meski keduanya sering bertengkar untuk hal kecil, tapi baru kali ini dia melihat pertengkaran mereka lebih hebat dari sebelumnya.

Bahkan, sampai muncul dugaan adanya orang ketiga. Zara menoleh ke Naura yang diam tanpa ekspresi.

Firasatnya mengatakan orang yang seharusnya dicurigai Anneth bukan Alifa, meski dia tidak benar-benar mengenal perempuan itu.

"Bisa lanjut latihan lagi gak?" tanya Naura, datar. Seolah-olah tidak ada masalah apapun yang terjadi sebelumnya.

Anneth melirik tajam ke adik kelasnya itu. "Lo bisa gak buat diam dulu sebentar?"

Naura melirik jam dinding di studio tari. "Waktu gue gak banyak, Kak. Kita sudah nunggu lo nangis meraung-raung gak jelas sampai lima menit."

Anneth berdiri. Dia menatap Naura dengan kesal. "Mentang-mentang jadi si paling sibuk, lo gak pakai empati sama sekali?"

Naura berdecak. "Kak, ayolah profesional aja. Kita ada di sini mau latihan buat lomba, bukan buat dengerin lo nangis kayak gini."

Zara ingin mengangguk. Ucapan Naura memang ada benarnya. Hanya saja itu pasti akan menyakiti Anneth. "Kita lanjutkan besok aja ya," kata Zara, akhirnya.

Naura kemudian menoleh ke Anneth. "Lo yang jadi ketuanya, lo yang bikin keputusan. Mau besok aja?"

Anneth mengangguk. "Ya, kita lanjutkan besok," ucapnya. Ada sedikit perasaan dihargai sebagai ketua dari ucapan Naura tadi.

"Oke. Kita lanjut besok." Naura segera melepaskan stagen dan kain jariknya. Dia juga mengabari Betrand melalui chat kalau sudah selesai latihan.

Zara mengusap punggung Naura. "Kita duluan. Gue harap lo gak macem-macem sama Betrand ya," katanya, membuat Naura mengalihkan pandangannya dari layar hape.

Dia melihat tatapan Zara yang menyiratkan kecurigaan. Naura tersenyum manis. "Iya, hati-hati, Kak. Aku gak akan macam-macam ke dia."

Zara mengangguk, kemudian pergi bersama Anneth. Mereka tinggalkan Naura sendiri di studio tari.

*

"Kenapa tadi Kak Betrand gak terus terang ke Kak Anneth?" tanya Naura saat mereka sudah berada di perjalanan.

Betrand tidak banyak bicara sejak pertengkaran dengan Anneth tadi. Dia menghela napasnya. "Dia gak akan bisa ngerti kalau gue jelasin sekarang."

Alis Naura bertaut. "Memangnya sudah sering kayak gini?" dia kembali bertanya.

Pria berkulit hitam manis itu tersenyum tipis. "Lumayan."

"Terus kenapa nggak putusin aja? Nggak nyaman kan kalau terus-terusan berantem kayak gini, Kak?" Naura mulai memancing pertanyaan jebakan.

Betrand terkekeh. "Gue gak mau putus dari dia, kecuali memang kesalahan dia gak bisa gue toleransi lagi."

"Yang tadi emangnya masih bisa ditoleransi?"

Betrand merenung sejenak. Apa kemarahan Anneth tentang Alifa tadi masih bisa ditoleransi? Bimbang. Tapi dia juga masih sulit untuk putusin pacarnya.

Apalagi hubungan mereka sudah terjalin cukup lama, sejak kelas 10. "Yang pasti gue gak bisa putusin gitu aja."

Naura mengangguk-angguk, berusaha untuk mengerti keadaan Betrand saat ini. "Kak, kalau lo butuh tempat cerita, gue bisa jadi pendengar yang baik."

"Thank you, Nau," ujar Betrand. Dia tersenyum di balik kaca helmnya. Dia sedikit lebih lega karena ada yang mau mengerti kondisinya saat ini.

Sementara itu, Naura tersenyum. Setidaknya pria yang memiliki lesung pipit yang manis itu mau menjadikannya teman curhat.

Bukankah berawal dari jadi teman curhat bisa menjadi penikung yang hebat? Naura diam-diam mengagumi kehebatannya sendiri yang punya kemampuan jadi pendengar yang baik.

Begitu sampai rumah, Naura kembali membuka media sosialnya. Dia sudah lelah dengan kesehariannya ini. Menjadi pelatih di dua klub sekaligus. Apalagi jamnya berdekatan.

Dia menggulirkan layarnya sambil melihat-lihat akun Betrand. Pria berlesung pipit itu ternyata cukup sering mengunggah foto bersama Anneth.

Bahkan Betrand sengaja membuat sorotan yang hanya berisi tentang dia dan Anneth di hari itu. Bagian manapun yang terbaik selalu dia masukkan di sorotan.

"Setia banget sih," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya. Masih menggulir layar hapenya ke bawah, tiba-tiba ponselnya terjatuh. "Aduh!"

Begitu dia kembali menatap layar hapenya, Naura langsung berseru keras. "Gawat! Malah gak sengaja klik love!"

Naura makin panik saat melihat foto yang disukainya itu ternyata diupload Betrand pada bulan lalu. "Ketahuan stalking dong gue?!"

Buru-buru dia mengklik tanda love lagi, agar tidak ketahuan. Masa bodoh dengan notifikasi yang masuk ke hape Betrand. Yang penting namanya tidak termasuk di daftar itu.

"Daripada ntar diomelin Kak Anneth besok, bisa gagal rencana gue!" seru Naura.***

Nyawiji (Revisi Dear Anneth - Kurva yang Ditakdirkan Untuknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang