"Tolong katakan pada Tuhan bahwa aku tidak pernah menyesali titik pertemuan kita saat itu."
*
*
*Orang bilang tidak ada satu halpun yang kebetulan terjadi di dunia ini. Semua cerita yang perlahan kita lalui, tentang sakit dan sedih, luka dan tawa, tangis dan kemarahan, semuanya adalah sebuah skenario dari Tuhan. Dan aku percaya bahwa itu benar adanya. Hidup dengan cerita-cerita yang seperti tak ada ujungnya, ibarat rollercoaster, naik turun kehidupan sedemikian cepatnya.
Aku selalu percaya takdir. Karena sebelum aku lahirpun kisahku sudah Tuhan selesaikan hingga akhir. Ibarat sebuah novel yang akan difilmkan. Buku cetaknya sudah ada, para pemeran hanya perlu memerankan alur sesuai skenario.
Begitu banyak takdir yang perlahan terjadi. Mulai dari yang paling sederhana hingga yang kompleks sekalipun. Seperti sebuah takdir pada November 2015 silam. Hari itu, hari yang membawaku pada kisah pelik soal hati. Satu hari untuk 4380 hari ke depan. Enam tahun adalah kisah singkat yang dimulai dengan satu hari yang tak pernah kuduga. Hari itu, aku menamakannya satu hari tanpa takdir. Sebab takdir sendiri seperti menghindar dariku setelahnya. Seolah hari itu adalah kesalahan. Padahal tidak! Tidak pernah ada penyesalan bagiku untuk hari itu.
Entah tepatnya tanggal berapa. Hari itu, November 2015. Aku menemukannya. Usiaku 12 tahun saat itu. Siswi baru yang menduduki kelas pertama di SMP. Rayuni Calista, itu namaku. Panggil saja Uni, seperti orang-orang pada biasanya.
Mungkin dari sekian banyak siswa di sekolahku, dia bukan yang terbaik, terganteng, ataupun terpintar. Justru dia adalah sosok cowok badboy dan minim kedisiplinan. Tapi aneh. Aku malah menyukainya. Sesederhana itu. Senyumnya adalah objek paling favorit dalam benakku. Suaranya juga seolah jadi nada dering paling indah di antara bisingnya sudut sekolah.
Abaikan soal cuap-cuapku soal dia. Ini kisahku dan dirinya yang ingin aku abadikan dalam tulisan. Kelak, aku akan sangat senang mengingat bahwa aku pernah berjuang mati-matian untuk seseorang. Bahwa aku juga pernah mencintai hingga sepenuh hati. Kisah ini akan jadi cerita favorit buat orang-orang baru yang hadir dalam kisahku selanjutnya. Seperti dia yang dulu juga menerima kisahku sebelumnya.
***
November 2015
Hari itu entah Senin atau Selasa, aku lupa tepatnya. Yang aku ingat saat itu aku mengenakan seragam putih biru. Namun yang paling lekat dalam memori adalah hari itu setelah jam pelajaran Bahasa Indonesia, jam istirahat tiba. Kelasku yang letaknya di sudut sekolah, agak terpencil memang. Tapi keuntungannya dekat dengan kantin. Seperti biasa berebut masuk kantin yang tidak terlalu besar tapi pelanggannya banyak. Cukup sesak memang, tapi kalau perut sudah minta isi, apapun itu terobos ae lah.
Aku adalah satu di antara berpuluh-puluh orang yang berebut masuk kantin. Tidak sendirian tentunya, aku bukan type cewek pemberani yang apa-apa dilakukan sendirian. Teman baruku namanya Sania, Sania Twain nama panjangnya.
"Uni, sini cepet! Kalau ga diterobos nanti kehabisan." Sania menarik tanganku di antara sesaknya para manusia yang mulai ribut dengan keluhan masing-masing. Aku berdecak kesal, entah siapa yang tidak sengaja menarik hijabku sampai miring. Menyebalkan. Aku terpisah dari Sania. Cewek itu sudah sampai di meja yang penuh makanan. Sedangkan aku memilih kembali ke pintu kantin. Tidak kuat berdesakan dengan siswa-siswi lain.
"Tunggu dulu, San. Jilbab Uni ketarik nih," ringisku mencoba memperbaiki hijab putih yang aku kenakan.
"UNI MAU YANG BIASA KAN? CIRENG, BAKWAN, PERGEDEL, SAMA TEMPE GORENG, TERUS ES TEH TAWAR." Sania menyebutkan makanan yang ia masukkan ke dalam kresek dengan sedikit tergesa-gesa. Suaranya keras sekali sampai terdengar ke tempatku yang masih berdiri di pintu kantin. Sania memang the best.
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGKAT
Teen FictionKisah ini hanya tentang jeritan perempuan manis yang cintanya tak juga terbalaskan. Hingga ia sampai pada suatu titik, titik terakhir ia menyebut nama orang yang ia cinta di sepertiga malamnya. Pada akhirnya ia sampai juga pada fase lelah berjuang s...