"Selamat tinggal, Yuda."
Aku kembali menoleh ke samping. Nando tengah menatap lurus ke depan."Kenapa memilih bertahan di samping Uni, Nan?"
"Suka-suka aku lah."
"Heh, ini kan ada hubungannya sama Uni. Uni berhak tahu dong."
"Tapi ini diriku, aku lebih berhak menentukan apakah aku mau memberitahukannya atau tidak."
Aku terdiam sejenak. Ini salah.
"Jangan bertahan denganku, kamu berhak melanjutkan perjalanan hidupmu selanjutnya."
"Uni? Kenapa melamun?" tanya Nando membuat lamunanku buyar seketika. Ya kalimat barusan ternyata hanya sekedar khayalan di otakku saja.
"Engga, Uni gak papa."
"Melamun mulu, ntar kesambet lho."
"Jangan ngasal tolong ngomongnya," ujarku menggeplak lengan Nando kesal.
"Hehe. Uni ayo dong jangan mikirin Yuda lagi."
"Lah ngatur!"
"Ini permintaan, biar kamu gak sedih mulu, galau mulu, tulisannya makin banyak ntar. Jangan apa-apa ditulisin di lembar akhir buku dong, kasihan bukunya dicoret-coret unfaedah."
"Uni nulis biar lega, Nan. Kalau dipendem sendirian gak enak. Uni gak punya siapapun buat cerita tentang Yuda. Soalnya semua orang udah muak denger topik tentang Yuda. Uni terlalu keras kepala menyangkut dia, sampai orang terdekat Uni aja udah gak mau denger lagi, Nan."
"Sejak kapan kamu suka nulis?"
"Dari kecil."
"Maksud aku, sejak kapan kamu menulis puisi galau seperti itu?"
"Oh itu, baru-baru ini sih. Dulu Uni gak pernah suka puisi, gak tertarik sama sekali. Uni dulunya suka nulis cerpen aja, soalnya seru bisa bikin karakter sendiri dan endingnya gak perlu sedih kayak cerpen-cerpen yang Uni baca."
"Lalu? Kenapa bisa suka puisi?"
"Karena Uni mengenal Yuda. Dia adalah topik pertama puisi-puisi Uni sampai saat ini. Yuda bener-bener ninggalin banyak hal pada diri Uni. Dia ngajarin cara tetap bersikap baik pada sumber masalahmu, tetap bersabar dalam segala keadaan, dan yang paling Uni inget dari Yuda adalah ketika dia selalu tersenyum sama siapapun bahkan orang-orang yang ngejekin dia."
"Yuda meninggalkan banyak kenangan ya? Bukannya kalian dekat baru beberapa bulan?"
"Tiga bulan sepuluh hari, Nan. Itu waktu yang cukup singkat buat bener-bener kenal Yuda. Tapi Uni dapetin banyak hal. Yuda yang menjadikan Uni bisa melawan rasa takut Uni sama gelap, dia bilang gelap itu gak mengerikan kok. Katanya gelap itu indah banget, kalau kita mampu berdamai dengan kegelapan itu sendiri."
"Tapi sekarang masih takut gelap?"
"Masih, hehe. Uni belum berhasil buat berdamai dengan kegelapan. Terlalu tabu, Uni masih gamang dalam kesendirian apalagi harus menyusuri kegelapan itu seorang diri."
"Yaudah balik, jangan melangkah sendirian."
"Iya, Uni udah kembali ke langkah awal kok."
"Kapan kamu selesai dengan perasaanmu, Uni?" tanya Nando, ia kini duduk di hadapanku, menatap manik mata ku dengan sempurna.
"Tidak tahu. Yuda terlalu sulit untuk Uni hancurkan dari hati dan pikiran Uni. Tapi Uni gak bakal melanjutkan cerita ini kok. Uni tahu, Yuda adalah kemustahilan yang jelas gak bakal bisa Uni genggam."
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGKAT
Teen FictionKisah ini hanya tentang jeritan perempuan manis yang cintanya tak juga terbalaskan. Hingga ia sampai pada suatu titik, titik terakhir ia menyebut nama orang yang ia cinta di sepertiga malamnya. Pada akhirnya ia sampai juga pada fase lelah berjuang s...