"Semoga bahagia, Nando."
Aku tahu setelah memutuskan untuk benar-benar mengucapkan selamat tinggal pada Yuda, saat itulah aku tahu bahwa aku harus siap untuk kesakitan-kesakitan yang akan muncul kedepannya. Aku menoleh ke belakang, Yuda masih duduk di tempat tadi dengan kepala tertunduk, aku tahu hanya aku yang terluka di sini. Setelah itu aku kembali melangkah ke depan tanpa menoleh lagi ke belakang sana.
Di sini, aku terduduk dengan air mata yang ternyata mengalir tanpa bisa aku hentikan. Rasanya tidak sakit kok, hanya saja mungkin lebih hampa dari pada biasanya. Di belakang kelasku sepi, di sini aku biasanya duduk sendirian, menekuk lutut lalu menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Usiaku 15 tahun, tapi masalah hati malah jadi lebih sakit untuk usia ini.
"Uni," ujar seseorang yang ku kenali. Aku tak menjawab, rasanya tidak sanggup untuk sekedar mengangkat wajahku yang sudah berlinang air mata.
"Kamu boleh nangis kok, jangan ditahan." Orang itu mengusap kepalaku lalu menepuk punggungku pelan.
Lima belas menit berlalu, aku mengusap wajahku mulai menatap orang yang sedari tadi tak henti memberi sugesti ketenangan, dia Nando.
"Udah puas nangisnya?" tanya Nando pelan.
Aku mengangguk, sedikit tersenyum. "Makasih ya, Nan."
Nando balas tersenyum lalu mengangguk, ia mengusap sudut mataku yang tersisa bulir- bulir air mata.
"Ayo, aku antar pulang." Yuda menggenggam tanganku, mengajakku berdiri, aku hanya mengikut saja.
Dan akhirnya aku diantar pulang oleh Nando.
***
Hari-hari berlalu, tibalah hari dimana angkatan kami mengikuti UN sebagai syarat kelulusan. Bagiku hal ini sangat mendebarkan, mungkin begitu pula bagi siswa-siswi yang lain. Aku sudah diwanti-wanti oleh orang tuaku untuk mendapatkan nilai yang bagus di ujian ini. Dan ya, aku tidak punya pilihan selain untuk terus berusaha dan berusaha.
Akhirnya setelah sekian minggu tidak menginjakkan kaki di lingkungan sekolah, aku kembali lagi di sini. Ku lihat Nando dari jauh, ya itu Nando. Rasanya rindu juga tak bertemu sosok itu.
Ku lihat dari kejauhan sobatku, Nando. Ia tengah duduk di depan ruang ujian dengan seorang siswi. Kalau tidak salah siswi itu adik kelas kami.
"Hai, Nan." Aku menyapa Nando dan duduk di sebelahnya.
Nando tersenyum sekilas lalu lanjut berbicara dengan adik kelas tadi. Mungkin sedang membicarakan suatu hal yang penting. Karena tidak biasanya Nando berlaku mengabaikan aku begini. Namun sepertinya aku salah, setelah beberapa menit mereka mengobrol, aku sempat mendengar mereka tengah membahas keseharian keduanya, mulai dari Nando yang stress dengan UN sampai kesibukan adik kelas yang ku ketahui bernama Ify yang mulai mempersiapkan diri untuk ujian kenaikan kelas.
Aku mencoba menyapa mereka lagi, "wah seru banget sih obrolannya, boleh gabung gak?" tanyaku sambil tersenyum manis.
"Halo, Kak Uni." Ify balas tersenyum.
"Ya ampun keasikan ngobrol jadi lupa ada Uni," ujar Nando tertawa kecil.
"Iya nih, parah banget." Aku tersenyum kecut.
"Hehe, sorry sorry."
"Sans, pada ngobrolin apa sih, seru banget kayaknya." Aku tertarik ingin ikut mengobrol.
"Random sih Kak, ngobrol santai aja biar Kak Nando ga nerveos ujiannya," jawab Ify.
"Hoala. Gimana Nan, persiapan ujian kamu aman?" tanyaku lagi.
"Aman kok. Oh iya kenalin ini Ify, pacar aku." Nando berujar pelan sambil mengenalkan Ify kepadaku.
Ya, aku sudah tahu siswi satu ini namanya Ify, kami pernah satu tim di olimpiade matematika tahun lalu. Tapi tunggu! Apa tadi? Pacar? What?
***
Siang itu setelah berhasil melewati hari terakhir pelaksanaan UN, seluruh kelas 9 diperintahkan untuk tidak pulang dulu dan berkumpul di aula sekolah. Ya, hari itu aku melihatnya, Yudha. Akhirnya aku melihatnya setelah sekian lama tidak bertemu. Sejak kejadian sepulang sekolah waktu itu, aku dan Yudha tidak pernah bertemu lagi. Selama pelaksanaan UN aku dan Yudha berbeda sesi. Aku mendapat sesi pagi dan Yudha sesi sore. Sehingga tidak ada kesempatan untuk bertemu.
Aku menemukan Yudha di sudut paling pojok aula sekolah. Ia terlihat baik seperti biasanya dengan tas berwarna coklat kopi susu bertengger di bahunya. Tatapannya kemana-mana, cowok itu memang jarang terlihat fokus. Aku mengalihkan pandanganku--kembali fokus mendengarkan pengarahan dari kepala sekolah.
Setelah bubar dari aula, aku tidak lagi melihat jejaknya. Sepertinya Yudha sudah keluar duluan atau bagaimana, aku tidak tahu. Dari hasil pengumuman tadi, kami diminta hadir kembali minggu depan untuk farewell party angkatan kami. Sedih rasanya, masa putih dongker ini akan segera berakhir.
Aku dan teman-temanku beranjak pulang, saatnya melepas penat sejenak sebelum menjadi siswi putih abu-abu.
***
Aku bolak-balik menatap ponselku lalu berbicara dengan Putri, sahabatku yang kini masih asyik dengan novelnya.
"Uni bener-bener ga percaya deh rasanya. Nando pacaran sama Ify loh, Put." Aku berseru pelan sambil menunjukkan postingan sosial media Nando, sebuah foto dengan latar matahari terbenam di sebuah pantai.
"Ya, emang kenapa kalau Nando pacaran?" tanya Putri meletakkan novelnya.
"Ya gapapa sih. Kayak ga nyangka aja, Put. Uni pikir Nando bukan tipe cowok yang mau menjalin hubungan gitu."
"Kok gitu? Darimana kamu bisa nyimpulin Nando terlihat gitu?"
"Ya selama ini Uni lihat sendiri kok. Nando bukan tipe cowok yang suka deketin cewek juga tuh. Tapi tiba-tiba kemaren ngenalin Ify sebagai pacarnya ke Uni."
"Ya, semua orang kan bisa berubah, Ni." Putri kembali meraih novelnya yang tadi ia letakkan di atas kasurku.
"Uni kaget aja sih, Put." Aku kembali memainkan ponselku, menatap foto yang baru diposting Nando, rasanya masih tidak percaya.
Seperti kata Putri, semua orang pasti akan berubah pada waktunya. Tapi apakah aku juga bisa berubah? Aku mau berubah menjadi Uni yang lebih kuat lagi, menjadi Uni yang lebih pintar lagi, pintar dalam memilah hal baik dan buruk termasuk perasaan. Aku ingin berubah seolah tak pernah mengenal Yudha, yaaah Yudha lagi.
Berkali-kali aku terus mencoba untuk tidak menyinggung lagi soal cowok itu, namun rasanya sulit sekali. Yudha sudah menjadi topik favorit yang aku ceritakan hampir setiap hari, meskipun dalam cerita yang berbeda situasi dan kondisinya. Aku mendengar kabar lagi, Yudha sudah putus dengan Sania. Aku memang sudah mendengar kabar itu sejak beberapa minggu lalu, namun rasanya aku tidak percaya kalau bukan orangnya langsung yang bicara. Lagian aku berharap apa? Tidak ada yang bisa aku harapkan dari berakhirnya hubungan mereka.
Banyak hal mulai terjadi, waktu terus berjalan, aku berusaha terbiasa dengan keadaan. Aku mencoba untuk benar-benar harus meninggalkan sisa-sisa perasaanku di belakang. Tidak ada lagi yang harus aku pertahankan, tidak ada lagi yang bisa aku percayai tentang perasaan itu. Karena dari semua hal yang terjadi, aku harus melepaskannya, membuangnya sejauh mungkin, dan bersiap untuk memulai perjalanan baru, babak baru, putih abu-abu. Tanpa Yudha, tanpa perasaan yang pernah bersemayam ada, dan tanpa kesakitan-kesakitan yang sama.
***
Haiii, sorry karena update cerita ini lama banget ya. Lebih dari setahun dan aku baru update hari ini. Makasih banyak ya buat semuanya yang mungkin masih mantengin cerita ini. Makasii banyak udah singgah dan nyempetin buat baca. Aku seneng banget masih ada yang suka sama cerita ini.
Sampai jumpa di part selanjutnya yaa. Semoga aku bisa menyelesaikan cerita ini sampai akhir, aaamiin. See u di masa putih abu-abunya Uni.
7 Januari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGKAT
Teen FictionKisah ini hanya tentang jeritan perempuan manis yang cintanya tak juga terbalaskan. Hingga ia sampai pada suatu titik, titik terakhir ia menyebut nama orang yang ia cinta di sepertiga malamnya. Pada akhirnya ia sampai juga pada fase lelah berjuang s...