"Teruntuk hati yang gampang jatuh, tolong bekerjasamalah hari ini."
*
*
*Pernah merasa ketar-ketirnya perasaan ga? Jantung rasanya mau lompat keluar, sesak napas udah kayak orang kena asma. Hari itu, hari bersejarah yang aku ceritakan belum selesai. Dari balik jendela kelas, Sania tersenyum tipis lalu perlahan menjauh. Ia mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Semoga berhasil," ujarnya tanpa suara.
Aku menelan ludah kasar. Pliss, aku deg-deg an sekarang. Mau kenalan saja, kenapa malah segrogi ini sih? Cowok itu melambaikan tangan pada Ardi, teman sekelasku yang tadi. Ia mulai melangkah pergi, saatnya aku beraksi. Dengan sedikit keberanian, aku membuka jendela kelas-mencondongkan kepalaku keluar lalu menunggunya sampai di depanku.
"Yuda!" panggilku agak keras.
Sial, dia menoleh. Tatapannya datar sekali. Tapi kenapa aku malah tersepona begini. Aduh, mulai eror nih.
"Apa?" tanyanya. Suaranya berdamage sekali, tolong. Aduh aku mau mendengarnya lagi.
"Kamu Yuda kan?" tanyaku memastikan tidak salah nama.
"Iya," jawabnya singkat.
Sebenarnya aku sedang berdiri di atas kursi. Karena jendelanya agak tinggi. Tapi kok kakiku melemas gini ya. Damagenya Yuda keren banget.
"Ada apa?" tanyanya lagi.
Aku tersentak. Ketahuan malah memandangi wajah cowok ini. Padahal biasa aja. Dan keluarlah kalimat ter-random yang memalukan.
"Rumah kamu di mana?" tanyaku. Heh! Pertanyaan macam apa itu?
Yuda menaikkan alisnya. Mingkin dia bingung dengan pertanyaanku. Hello! Siapa gue? Kalian tau apa yang terjadi selanjutnya? Yuda memilih mengabaikan aku lalu pergi begitu saja.
Kalau mengingat hari itu, aku mau terbang saja. Iya cosplay jadi burung atau mau pinjem teknik teleportasinya Raib. Aku malu.
Oh iya, soal dia. Namanya Prayuda Adhitama.
Yuda satu angkatan denganku cuma beda kelas. Jadinya memang jarang ketemu. Sekalinya ketemu malah jatuh hati, heheh. Hari itu setelah Yuda pergi, Sania mendekatiku.
"Gimana gimana?" tanya Sania.
"Hm, ya gitu deh." Aku tersenyum malu. Aku rasa wajahku sudah memerah. Pipiku panas sekali rasanya.
"Gitu gimana, Uni? Sania mau denger," ujar Sania ngotot.
"Ga tau. Uni malu, San." Aku turun dari kursi dan beranjak duduk di sana. Menelungkupkan kepala di atas kedua tangan yang aku lipat di atas meja. Tadi itu memalukan sekali. Sania ikut duduk di sebelah. Sahabatku itu memilih diam.
***
Siang itu setelah pulang sekolah, aku dan Sania pulang bersama seperti pada biasanya.
"Uni, itu Yuda bukan?" tanya Sania sambil menunjuk seseorang yang terlihat di seberang sana. Itu Yuda. Cowok itu baru saja masuk ke sebuah mobil, mungkin jemputannya.
"Iya, itu Yuda." Aku mengangguk pelan lalu melanjutkan langkah diikuti oleh Sania.
"Uni beneran suka sama Yuda?" tanya Sania saat kami sudah sampai di depan sekolah--menunggu jemputan.
"Suka," jawabku tanpa pikir panjang. Salah satu kesalahan terbesar yang aku lakukan adalah gegabah.
"Emangnya Ayah sama Ibu Uni ngizinin Uni pacaran?" tanya Sania.
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGKAT
Teen FictionKisah ini hanya tentang jeritan perempuan manis yang cintanya tak juga terbalaskan. Hingga ia sampai pada suatu titik, titik terakhir ia menyebut nama orang yang ia cinta di sepertiga malamnya. Pada akhirnya ia sampai juga pada fase lelah berjuang s...