8. Bagian Paling Menyakitkan (awal)

54 11 5
                                    

Untuk perasaan yang tak seharusnya kubiarkan
Dan hati yang baiknya tak kubuka lagi
Maaf karena terlalu memaksakan
Sejujurnya aku tahu, tak sebaiknya berlaku begitu
Untuk apa mengetuk pintu yang gemboknya bukan anak kunciku?
Sia-sia belaka memang
Dan sayangnya aku tak tahu
Mencintai yang bukan takdirku memang semenyakitkan itu
Dalam diam aku terpenjara dalam ruang hampa yang kuciptakan sendiri
Aku terbakar oleh harapan-harapan yang kian subur di sanubari
Sebab pemantiknya kubiarkan kian garang
Sialan, entah aku yang terlalu buta atau hatiku yang berpura-pura

*

*

*

Dalam setiap kisah selalu ada hal yang paling menyakitkan dan paling menyenangkan. Dan bagian ini adalah bagian yang paling tidak ingin kutuliskan. Kalau boleh, aku tidak mau mengingat bagian ini. Terlalu sakit dan masih terasa hingga kini.

Pernah dengar tentang strick parent? Orang tua yang overprotektif pada anaknya. Semuanya serba diatur dan tidak dibebaskan. Itulah orangtuaku. Aku selalu dituntut sempurna di rumah. Mungkin karena aku anak pertama, perempuan pula. Ayah dan Ibu berharap banyak padaku.

Pagi yang buruk kuawali hari itu. Mulai dari Ibu yang mengomel karena aku terlambat bangun, Ayah yang ikut-ikutan marah dan menatap sinis padaku, dan jangan lupakan adikku yang menertawakan kebodohanku hari itu. Salahku juga sebenarnya, aku begadang. Semalam aku menyalin catatan Seni Budaya ke buku baru. Sebenarnya itu untuk Yuda.

Kemarin Yuda terlihat kesal karena buku catatannya hilang. Seingatnya buku itu ada padaku. Sedangkan menurutku buku itu sudah aku berikan padanya. Tapi Yuda kekeh bilang buku itu ada padaku. Alhasil, aku tulis ulang catatan Seni Budaya yang sudah separuh buku dalam semalam. Sudah seperti dongeng Roro Jonggrang saja, hehe.

"Kebiasaan, malamnya tidur lama terus telat bangun. Kamu mau sekolah ga sih sebenarnya?"  Itu suara Ibu, wanita kesayanganku yang hobi mengomel setiap hari. Hm, aku rasa Ibu kalian juga sama kan, hehe.

Biasanya kalau Ibu marah begitu, aku akan memilih diam saja. Malas menjawab atau meladeninya. Yang ada makin panjang urusannya. Tapi semarah-marahnya Ibu, tiap pagi sarapan tak pernah alfa di atas meja. Ibuku adalah wonder woman sejati buatku. Aaaa sayang Ibu.

"Dibilangin jangan begadang, masih aja ga didengerin." Itu Ayahku, laki-laki paling kuat tapi galak. Jangan ada yang berurusan dengannya, nanti kena mental. Hehe.

Ayahku itu aslinya tidak galak kok. Tapi kalau marah serem. Ayah adalah sosok yang sering mengganggu aku waktu belajar. Entah itu mencolek pipiku, menarik rambutku, atau menyenggol bukuku. Nah, kali ini kelakuannya malah persis dengan Yuda, usil sekali.

Biasanya aku lebih berani menjawab perkataan Ayah daripada Ibu. Ayah akan menyeramkan saat dia marah besar, tapi Ayah jarang sekali kok marah besar.

"Kan Uni bikin PR, nyalin catatan." Itu aku. Benar kan, kalau Ayah yang bicara aku berani jawab. Kalau Ibu, aku diam sajalah. Takut.

"Kenapa setiap malam nyalin catatan? Emangnya ga nyatet di sekolah?" tanya Ibu, aduh gawat aku.

"Uni ketinggalan, Bu. Itu nyatetnya pas mau pulang, temen-temen Uni pada mau piket jadi Uni pinjem buku temen aja." Kebohongan yang indah.

SINGKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang