Part 6 ••• Tidak terpengaruh

216 33 14
                                    

Tiga hari terlewati begitu saja, kini beasiswa Winter dicabut tanpa persetujuan siapapun termasuk direktur. Pak Won hanya menurut pada orang yang berduit, meskipun guru di bidang kesiswaan lainnya mempertahankan Winter, Pak Won tidak bisa di lawan, apalagi dengan status adik Direktur.

Gemmis High School tidak adil?

Namun ia tetap bertahan, tak apa beasiswa di cabut asal jangan sampai ia yang keluar dari sekolah ini.

Winter mengeratkan genggamannya pada ransel yang berada di pundaknya, haruskah ia memberitahukan pada ibunya tentang hal ini? Ia hanya berdiri di depan pagar rumahnya sambil memperhatikan aktivitas di lantai bawah rumahnya.

"Winter?" ujar Irene setelah mengambil banyak jemurannya.

Winter mengalihkan pandangannya, ia membelakangi ibunya, tentu membuat seorang Irene mengerutkan keningnya heran menatap tingkah anaknya yang terlihat menyembunyikan sesuatu.

Winter ingin menangis, air matanya menumpuk di pelupuk mata.

"Ada apa, Win?" suara lembut itu terdengar sangat dekat.

Winter tidak bisa memendamnya sendiri, ia menarik napasnya pelan, kemudian badannya berbalik menghadap dengan air mata yang mengalir.

"Winter gak dapet beasiswa lagi sekarang," katanya tanpa basa-basi.

Irene, Ibunya itu tersenyum kecil, mengusap lembut kepala anak gadisnya tanpa bertanya alasannya, ia tidak ingin memperkeruh suasana.

"Kan ibu bisa bayar, kamu gak perlu khawatir." meskipun berat, seorang ibu itu tetap menenangkan anaknya, "Jangan dipikirin Winter, kamu belajar aja yang rajin."

Winter tidak lega begitu saja, mana mungkin ia membiarkan ibunya menanggung beban sendirian.

"Iya." hanya itu jawaban Winter dengan lirih. Untuk kedepannya ia akan memikirkannya nanti.

•••••|||•••••


"Kamu istirahat, sana."

Yuri tersenyum mendengar perintah itu dari sang papa. Tak biasanya pria itu menyuruhnya beristirahat, kegiatan Yuri haruslah belajar, belajar dan belajar agar ia meraih peringkat pertama. Itu kata papa.

"Thankyou, pa."

"Tapi ingat, malam ini harus belajar lebih giat," lanjut papa kemudian yang membuat Yuri memandang pria itu dengan kesal.

"Kenapa?" tanya papa yang menyadari Yuri menatapnya.

Papa berdiri dari duduknya, "Kamu jangan sampai memalukan papa di depan semua orang, Jo Yuri." kata papa dengan tegas.

"Aku capek!"

"Kamu berani membantah?" kini suara tinggi itu keluar, jika seperti ini Yuri tak akan berani menjawab, ia berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata apapun menuju kamarnya.

"Jo Yuri!" tegur papa.

*

"Gara-gara lo semua gue harus belajar lebih keras!"

Yuri memukul-mukul deretan nama 5 besar di Gemmis High School yang di tempel di dindingnya. Hanya nama Minju yang sudah tercoret.

Kim Minju, Heeseung Lee, Hamada Asahi, Kim Minjeong, dan Choi Beomgyu.

Tangannya sudah sembuh sejak lama, ia terus memakainya agar papa meringankan bebannya, juga senjata untuk menyingkirkan Winter.

"Dua orang lagi, tinggal dua orang lagi yang harus di singkirkan," katanya dengan pelan dan penuh emosi.

Dengan tangan yang bergetar dan mengeluarkan darah pada buku-buku jarinya ia mengambil benda tajam yang berada di nakasnya, pisau yang di pakai menusuk Minju itu ia gunakan untuk mencabik-cabik kertas yang bertuliskan nama kelima orang itu.

"Gue tuh cape, stress, muak kerjaan tiap harinya belajar terus. Mending lo semua musnah biar gue istirahat sejenak," lirinya kesal.

Sekarang pisau itu di dekatkan pada tangan kirinya, lebih tepatnya tempat urat nadi itu berada.

Seketika Yuri melihat sebuah foto dirinya saat kecil bersama mama dan papa. Pisaunya perlahan lepas dari tangannya dan jatuh di dekat kakinya.

•••••|||•••••


Ryujin menggeram kesal bunyi bel di rumahnya terus berbunyi. Ia berdiri dan mengeceknya keluar.

"Pada kemana sih penjaga rumah?"

Ia memicingkan matanya ke arah luar gerbang rumahnya, "Siapa?"

"Jasa Loundry," teriak seseorang itu dari luar.

Ryujin segera menghampirinya dan membuka gerbang itu. Ketika gerbangnya terbuka menampakkan seorang Winter, sang lawan yang kuat.

Winter memberikan sebungkus pakaian rapi dan wangi pada Ryujin.

Ia tersenyum mengejek, ide licik pun terlintas di kepalanya.

"Lagi butuh duit ya?" ucap Ryujin sambil mengeluarkan ponsel dan merekam Winter.

Ia hanya diam, bagaimanapun saat ini Ryujin sekarang pelanggannya.

Ryujin memberikan beberapa lembar uang pada Winter, saat akan menerimanya ia tarik kembali. Terdengar suara tawa Ryujin yang terlihat puas.

"Ryujin gue gak waktu buat main-main!" tegas Winter, Ryujin langsung menghentikan rekaman itu.

"Jadi mau duit gak nih?" tawar Ryujin sekali lagi dengan nada bicara yang terdengar menyebalkan. Ia masih bermain-main dengan Winter.

"Terserah lo deh, mungkin lo gak mau bayar karena gak punya uang, lo kan cuma minta-minta sama bokap lo!" setelah mengatakan itu, Winter langsung pergi dan mengayuh sepedanya menjauh dari pekarangan rumah Ryujin.

"Winter!" teriak Ryujin kesal.

Segera ia mengupload video Winter tadi, "Hiburan buat penghuni GHS."

*

"Winter, kok kurang?" kata ibu yang menghitung jumlah uangnya hasil hari ini.

"Iya tadi ada pelanggan yang gak punya uang, makannya aku kasih gratis," alibinya asal, ia menghampiri tempat duduk di sudut rumahnya bersebelahan dengan salah satu karyawan di sini yang sering ia panggil bibi itu sedang beristirahat.

"Winter! Ini kamu?" tanyanya tiba-tiba ketika Winter duduk di sebelahnya. Wanita itu menunjukkan ponselnya. 

"Hmm." 

Winter tahu pasti Ryujin memposting video barusan yang ia rekam, namun tidak membuat Winter kesal. Ia pikir, tak akan berpengaruh pada kehidupannya di sekolah, lagipula ia tidak terkenal dan tidak punya teman. 

•••••|||•••••

SAVIOR GIRL | 01 LINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang