Aku tersenyum mengamatinya.
Saat ini dia sedang serius merapikan bajuku. Terkadang terlihat kerutan di keningnya ketika pakaian yang dilipatnya tidak sesuai dengan posisi di dalam tas. Aku terkikik geli dari tempatku.
See. Hanya dengan kepolosannya saja aku semakin terpesona. Dia benar-benar telah mencuri hatiku, menjajah pikiranku dan menguasai jiwaku.
"Aku tau aku tampan"
Aku membulatkan mataku dan mencibir dalam hati. Gara dan kenarsisannya. Bahkan dia mengucapkannya tanpa melihatku. Walaupun begitu, pipiku tetap saja memerah. Malu karena ketahuan mengamatinya diam-diam.
"Cih, siapa yang liatin kamu" ejekku. Gara mendongakkan kepalanya melihatku.
"Memangnya kamu memperhatikanku? Aku sedang tidak berbicara sama kamu" jawabnya polos. Aku memutar bola mataku malas.
"Kalau bukan denganku, lalu siapa lagi" ujarku sedikit sebal. Bagaimana bisa dia menganggapku tidak ada.
"Aku bahkan baru tau kalau kamu mengamatiku diam-diam. Aku mengatakan itu pada suster yang berada di balik pintu sejak tadi" jawabnya geli. Terlihat kilat jahil dan suara tawa tertahan darinya. Kemudian, sebelum aku sadar dengan apa yang dikatakannya, dia langsung beranjak membukakan pintu kamar inapku.
Lagi, aku membulatkan mataku ketika dua orang suster hampir saja terjerembab karena Gara membuka pintu secara tiba-tiba.
"Silahkan masuk, sus" sapa Gara ramah. Dua suster itu salah tingkah. Mereka berusaha tersenyum semanis mungkin pada Gara.
"Pagi, mas. Kita akan melakukan pemeriksaan terakhir dulu sama pasien" jawab salah satu yang mempunyai lesung pipi. Sedangkan suster satunya mengedip-ngedipkan matanya menggoda Gara.
Aku menahan gondok. Apa coba ini suster dua. Sempet-sempetnya sih godain Gara. Seandainya nih ya kalau aku sehat wal-afiat, aku seret Gara keluar dari rumah sakit ini. Sekarang juga.
"Ekhem. Bisa tolong dipercepat, suster?" selaku dengan nada tajam. Mereka menunduk malu dan segera melakukan tugasnya. Aku mengamati keduanya dengan pandangan menusuk.
"Anda sudah kelihatan lebih baik. Senang pasti bisa cepat pulang ke rumah" ucap suster berlesung pipi. Aku tersenyum simpul. Dia kelihatan lebih seperti suster like suster beneran. Beda dengan temannya yang dari tadi melirik Gara. Centil banget masa. Aku mendengus sebal melihat tingkahnya.
"Mbak, itu siapanya? Kakak ya? Atau sepupu?" Hey, pertanyaan macam apa itu.
"Bukan urusan suster" ketusku. Suster berlesung pipi menyikut temannya dan tersenyum minta maaf.
"Baik, pemeriksaan sudah selesai. Semoga lekas pulih, ya" ucap suster berlesung pipi padaku. Aku mencoba membalas senyumnya, walaupun mataku masih memandang tajam pada temannya.
Sadar akan tatapanku, suster yang ramah segera menyeret temannya. Namun, aku masih sempat mendengar dia mengucapkan kata permisi pada Gara dengan nada yang sok imut.
Gara yang sedari tadi memainkan ponselnya mengangguk dan membalas senyum suster itu. Dia bahkan mengucapkan terima kasih dengan ramah.
Dih, Gara apa coba. Giliran pertama kali ketemu aku aja dia kikuknya bukan main. Kakunya kebangetan. Gagapnya apalagi. Gak ada tuh gaya-gayaan sok keren sok kece. Ya walaupun emang keren sih. Lah, ini dia malah ngasih kesan pertama yang wow sama suster rumah sakit.
"Ck, dasar suster genit. Aku sumpahin ketemu sama suster keramas biar tau rasa" gerutuku. Gara menghampiriku dan tersenyum geli.
"Kenapa, love?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fiance? Hell No!
RomantikGagap, manja dan bocah. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari pria macam dia? Nesya tak pernah terpikir akan jatuh pada pesona Gara, si pria kaku calon tunangannya sendiri. Lantas apa yang terjadi jika Tuhan telah berkata lain? Takdir itu indah da...