Jariku menari dengan terampil di atas sketch book ini. Perpaduan warna kuciptakan seindah mungkin. Sudah sekitar dua jam aku berkutat dengan kegiatanku. Rasanya pegal, namun aku senang.
Memang. Jika kalian memiliki niat untuk menciptakan sebuah karya, maka kalian juga harus siap menghadapi rintangannya.
Dan ngomong-ngomong, aku tidak mendengar suara maupun melihat sosok Gara dari tadi. Oke, maksudku bersamaan dengan aku memulai kegiatan melukisku, Gara juga menghilang.
Aku sih tak masalah. Justru dengan itu, dia tidak menggangguku. Tapi, kalau aku ditinggal sendirian disini gimana? Yak! Aku kan tidak tau jalan pulang. Hiks.
Oke stop berpikir yang tidak-tidak. Cukup selesaikan pekerjaanmu, Nesya!
Aku mulai menuang cat warna hitam ke palet yang sudah tak karuan ini. Yep. Ini adalah tahap finishing. Hanya memperjelas beberapa bagian dan selesai.
Hey, aku mencium aroma masakan dari sini. Apa hidungku yang salah?
"Makaaan!" teriak seseorang. Gara.
"Yak! Kau mengagetkanku" ujarku mengetuk kepalanya menggunakan kuas.
"Maaf" jawab Gara sambil mengusap kepalanya.
"i-ini. Makan si-siang dulu" tambahnya.
Nasi goreng seafood! Aku menahan air liurku ketika melihat nasi goreng kesukaanku itu. Gara mengambil alih alat melukisku. Dia mengambil tisu basah lalu mengusap tanganku. Aku tertegun menatapnya dari dekat. Memandang wajahnya yang serius membersihkan sisa-sisa cat di jariku.
Deg!
Astaga. Jantung sialan.
"Sudah bersih. Itu makananku, kan?" kataku cepat. Berusaha menormalkan detak jantungku, asal kalian tau.
Gara terlihat salah tingkah, lalu memberikan sepiring nasi goreng itu padaku. Aku mengamati perubahan warna pada wajahnya. Merah. Hey, harusnya kan aku yang blushing. Aneh. Gara aneh.
Aku menyuapkan sesendok nasi goreng itu. Hmm. Aku membulatkan mataku. Ini enak. Sangat enak.
Aku menatap Gara dengan pandangan bertanya. Dia menaikkan sebelah alisnya tak paham maksudku.
"Kamu tidak makan?" tanyaku.
"Makan? Ya, aku juga makan" katanya sambil mengambil sepiring nasi goreng lagi di belakang punggungnya.
Kami menikmati makan siang dalam diam. Sesekali aku melirik ke arah Gara yang sepertinya juga kelihatan sangat lapar. Dia makan dengan lahap.
"Ini nasi goreng buatanmu?" tanyaku setelah menuntaskan suapan terakhir.
"I-iya. Apa ra-rasanya tidak e-enak?"
"Biasa saja" jawabku cuek. Padahal sih ya kalau boleh, aku ingin nambah. Haha. Itu nasi goreng seafood terlezat yang pernah aku coba. Serius. Aku bahkan tidak menyangka Gara punya keahlian di bidang memasak.
Gara menyerahkan sebotol air mineral padaku. Kami terdiam cukup lama, sampai Gara bertanya dengan antusias, "Mana hasil lukisnya?"
Aku menunjuk sketch book yang sudah penuh dengan coretan warna menggunakan isyarat kepalaku. Gara tersenyum lebar melihat hasil karyaku.
"Ini indah" katanya. Dia membandingkan objek yang kulukis dengan hasil karyaku.
"Dan mirip. Hampir sama. Persis" katanya takjub.
"Terimakasih" jawabku tulus. Dia hanya mengulum senyum dan menganggukkan kepalanya.
Aku mengamati rumah pohon yang sedari tadi tidak sempat aku lihat dalamnya. Tak ada apapun disini. Lukisan pun tak ada. Hey, apa itu?
Gara & Bara
Bara? Siapa Bara?
"Siapa Bara?" tanyaku.
"Ha? Ba-bara?"
"Bara. Bukan babara" kekehku. Heran deh sama ini orang. Lima menit yang lalu gagapnya hilang, sekarang kumat lagi.
"Dia... saudaraku" Aku duduk di samping Gara mencoba menyimak ceritanya.
"Saudara kembarku, lebih tepatnya. Kami kembar identik dan dia lahir lima menit lebih dulu dariku. Dia kakak yang baik. Sangat baik malah. Dulu, kami sering main di rumah pohon ini. Bisa jadi, ini markas bermain kami"
"Sekarang dia kemana?" tanyaku penasaran.
"Dia pergi dan.. tak akan pernah kembali" jawab Gara lirih. Matanya menerawang jauh ke depan. Seakan mengingat kembali masa lalunya.
Aku terdiam. Jangan bilang kalau si Bara ini sudah meninggal. Astaga. Aku membuka luka lama Gara.
"Dia melanjutkan kuliah di luar negeri, yaitu Perancis. Awalnya mami sangat menentang keinginannya, namun Bara berhasil meyakinkan beliau. Sebagai gantinya, aku harus melanjutkan sekolahku di Indonesia. Karena, mami tak ingin kedua anaknya jauh dari sisinya"
"Sebenarnya, aku ingin memperdalam ilmu fotografi. Namun, papi ingin aku melanjutkan bisnisnya. Dan itu mengharuskan aku menjadi seorang CEO di perusahaan milik papi. Aku mengalah demi Bara. Dia kembali berhasil mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang seniman. Pelukis lebih tepatnya" jelas Gara.
Aku melihat Gara tersenyum tipis. Jelas sekali bahwa Gara menyayangi kedua orang tuanya. Dia selalu menuruti keinginan orang tuanya. Lain halnya dengan Bara. Aku rasa dia selalu bertindak seenaknya.
"Kami selalu berkomunikasi. Dia senang sekali setiap aku bertanya kabarnya. Kadang aku punya pikiran untuk mengikuti jejak Bara. Namun, hatiku selalu bertolak belakang dengan pikiranku. Mami papi pasti kecewa jika aku melakukan itu"
"Hingga suatu hari, Bara bermaksud pulang ke Indonesia untuk menghabiskan waktu liburannya. Keluargaku menunggu kehadirannya. Entahlah. Mungkin, sosoknya yang bersahaja membuat kami ingin mudah merindukannya. Hampir lima jam kami menunggu di bandara. Namun, yang kami terima justru kabar buruk. Pesawat yang ditumpangi Bara jatuh di tengah laut. Dan seluruh awak maupun penumpang tak ada yang selamat"
Benar. Apa yang kupikirkan memang benar. Astaga. Aku tidak menyangka kejadiannya akan seperti itu.
"Maaf. Maafkan aku" ujarku pelan.
"Tak perlu minta maaf. Itu sudah tiga tahun yang lalu" jawab Gara tersenyum maklum.
"Apa kau sangat menyayangi Bara?" tanyaku.
"Ya. Aku menghormatinya, aku menyayanginya sebagai kakak terbaikku"
"Gara?" panggilku.
"Ya?"
"Kamu tidak gagap lagi?"
Gara menoleh dengan cepat ke arahku. Pipinya memerah lagi. Astaga.
"Tadi kamu menceritakan semuanya dengan baik dan.. lancar" kataku berusaha menahan tawaku. Pipinya semakin memerah. Hahaha.
"Atau kamu gugup menatapku?" godaku sambil mendekatkan wajahku padanya.
Deg!
Yak. Kenapa jadi aku yang berdebar? Sial.
"Se-sepertinya sudah so-sore. A-ayo aku a-antar kamu pu-pulang"
Aku tertawa pelan melihat tingkahnya. Dia lucu sekali.
"Diamlah, Nesya" katanya setelah sampai di dalam mobil. Aku masih terkikik geli dari tadi. Sedetik kemudian aku tertawa semakin kencang.
"Hey, berhentilah menertawakanku" Gara mulai terlihat kesal. Aku hanya mengingat kembali nama mobil ini. Siapa? Sheggy, kan ya? Ahaha.
"Maaf maaf" kataku sembari meredakan tawaku.
Gara memalingkan wajahnya, lalu menjalankan mobil ini perlahan. Dia masih kesal, ternyata. Aku menggelengkan kepalaku pelan dan tersenyum melihat tingkahnya yang kembali seperti bocah.
Sungguh. Aku tak menyangka hari ini akan begitu menyenangkan. Mungkin, aku bisa berteman baik dengan Gara. Ya, teman baik.
***
Semoga suka :)
Vomment pliss..
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fiance? Hell No!
RomansGagap, manja dan bocah. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari pria macam dia? Nesya tak pernah terpikir akan jatuh pada pesona Gara, si pria kaku calon tunangannya sendiri. Lantas apa yang terjadi jika Tuhan telah berkata lain? Takdir itu indah da...