Gara menggeram frustasi. Sungguh, dia merasa dirinya adalah lelaki terbodoh sedunia.
Bodoh, selalu membuat gadisnya bersedih, terlebih menangis. Alih-alih air mata bahagia, dia justru menorehkan luka untuknya. Tak kasat mata memang, namun mampu membuat luka itu menganga.
"Maafkan aku, Nesya.." lirihnya parau.
Kalau mau, dia tak akan melakukannya. Melihat gadisnya saat itu, membuat dia hampir memeluknya dengan haru dan rindu. Sungguh, kebahagiaan besar yang didapatnya ketika membuka mata pertama kali, tidak setimpal dengan pengusiran yang dia lakukan.
Dia sadar, harus membentengi dirinya kuat-kuat. Bayangan gadisnya tertawa bahagia dengan saudara kembarnya, sudah cukup membuat dia sadar untuk tidak mengharapkan lebih.
Tetapi, bukan kah dengan Nesya yang dilihatnya saat matanya terbuka, cukup membuktikan kalau Nesya mencintainya? Rela menungguinya dan berada di sampingnya saat ia koma dan tak sadar? Seperti itu kah?
Gara menggelengkan kepalanya cepat. Tidak mungkin. Pikiran macam apa itu? Dirinya berharap terlalu jauh dan lagi-lagi terjatuh.
Cklek
Gara mengalihkan pandangannya pada pintu kamar inap yang terbuka. Menyiapkan topengnya jika saja Nesya tiba-tiba datang berkunjung.
Berkunjung? Gara mendengus keras. Setelah pengusirannya terhadap gadis itu, mana mungkin dia mau menemuinya lagi. Bodoh.
Memusatkan perhatiannya pada pintu, Gara mengernyitkan dahinya bingung. Tak ada tanda-tanda orang masuk. Hanya sedikit ujung sepatu wanita yang terlihat di sela pintu.
"Siapa?" teriaknya. Lalu, muncul sebuah kepala dengan cengiran canggungnya.
"Boleh aku masuk?" tanya gadis itu kikuk. Gara mendengus kesal.
"Alay banget sih. Tinggal masuk doang" cetusnya datar. Elsa tersenyum canggung dan duduk di kursi samping Gara, setelah meletakkan parsel buah yang dibawanya.
"Gimana keadaanmu?" tanya Elsa. Gara meliriknya sekilas.
"Seperti yang kamu lihat" jawabnya menghendikkan bahu.
Gara memalingkan wajahnya. Terlalu malas hanya untuk sekedar menatap Elsa. Sementara gadis itu mencoba tersenyum maklum atas sikap antipati Gara terhadapnya. Elsa menghela nafas jengah, sedikit kesal karena keheningan yang diciptakan Gara memojokkan dirinya. Seolah dia tak di anggap di ruangan ini.
"Sepertinya kamu tidak suka aku menjengukmu" senyumnya kecut.
"Silahkan saja kalau kamu mau pergi" jawab Gara asal. Bukannya tak suka dijenguk Elsa, hanya saja dia masih merasa marah mengingat apa yang gadis itu perbuat pada hubungannya dengan Nesya.
"Ck, sudah untung aku tolong" gerutunya kecil. Apa-apaan dia. Tak bisa sopan sedikit kah pada orang yang berniat baik menjenguknya.
"Apa kamu bilang? Jadi kamu yang menolongku saat kecelakaan?" cecar Gara. Suara lirih Elsa masih bisa didengar telinga tajamnya.
Elsa mengangguk ragu. Sebenarnya dia tak ada niat menyombongkan diri, hanya saja mulutnya tak bisa direm. Sikap Gara yang congkak membuat dia kesal sendiri.
"Kenapa tak membiarkanku mati saja" sahut Gara cepat. Dia merasa lebih baik dijemput Tuhan daripada melihat Nesya terluka kemarin.
Elsa terperangah kaget mendengar jawaban cuek Gara. Dia mendecak pelan.
"Aku tau kita sama" jawabnya.
"tapi hal itu lantas tak membuatku menyerah akan hidup. Oh ayolah, kamu baru merasakannya, sedangkan aku bahkan sudah terbiasa dengan rasa sakit itu. Hidup terlalu berharga untuk di sia-siakan, Gara" tambah Elsa dengan seringainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fiance? Hell No!
RomantikGagap, manja dan bocah. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari pria macam dia? Nesya tak pernah terpikir akan jatuh pada pesona Gara, si pria kaku calon tunangannya sendiri. Lantas apa yang terjadi jika Tuhan telah berkata lain? Takdir itu indah da...